Menjejaki Hilangnya C301, Akhir Riwayat Perkeretaapian Tanah Rencong

REDigest.web.id – C301. Seri lokomotif ini mungkin sudah tidak asing di telinga para pecinta kereta api. Lokomotif ini merupakan lokomotif endemik Aceh dan satu-satunya lokomotif diesel milik PJKA yang menggunakan lebar sepur 750 mm. Berbeda dengan kakaknya, C300, yang menggunakan lebar sepur 1067 mm.
Keunikannya inilah yang membuat para pecinta kereta api dari penjuru Nusantara tertarik dengan lokomotif ini. Sayangnya generasi muda saat ini tak lagi bisa melihat lokomotif imut ini. Pasalnya secara misterius, semua lokomotif ini menghilang tanpa jejak setelah jalur KA di Aceh dinonaktifkan pada tahun 1980.
Tak satu pun lokomotif ini berhasil diselamatkan. Umurnya sangat pendek yakni tidak sampai 8 tahun. Ada yang mengatakan lokomotif ini dirucat habis. Namun ada juga rumor mengatakan lokomotif ini dijual ke perusahaan sawit hingga pabrik gula. Namun bagaimanakah faktanya?
Mengutip dari buku Lokomotif & Kereta Rel Diesel di Indonesia, lokomotif C301 diproduksi oleh NCM Holland dengan menggunakan mesin GM-8V71 buatan General Motor dengan daya 194 kilowatt dan transmisi hidrolik Niigata DBG-115.
Lokomotif ini memiliki berat 14,424 ton dan dapat melaju dengan kecepatan 30 km/jam. Lokomotif ini didatangkan pada 1972 untuk memodernisasi sarana kereta api di Aceh yang pada saat itu masih mengandalkan lokomotif uap.
Tidak ada keterangan resmi berapa unit lokomotif C301 yang dibeli pada saat itu. Namun sejumlah sumber mengatakan pemerintah mendatangkan 8 unit lokomotif pada saat itu.

Semasa hidupnya, lokomotif ini beroperasi di Lintas Kutaraja (Banda Aceh)-Sigli menarik KA penumpang dan barang. Sayangnya pada Mei 1984, PJKA memutuskan untuk menutup seluruh layanan kereta api di Aceh.
Hal tersebut terkonfirmasi dari harian Suara Karya edisi 10 Mei 1984. Pada tahun 1978 jalur kereta api di Aceh hanya tersisa relasi Besitang-Kuala Langsa saja yang masih beroperasi. Stasiun-stasiun di Aceh kemudian disewakan kepada pihak lain. Misalnya Stasiun Banda Aceh yang disewakan menjadi warung kopi, bengkel, dan terminal bus. Sementara tanah bekas jalur digunakan untuk kantor, ruko, dan lain sebagainya.
Sarana seperti gerbong, kereta, dan lokomotif C301 dibiarkan mangkrak di sejumlah stasiun besar dan depo seperti di Sigli dan Pidie. Hingga akhirnya semuanya dirucat tanpa menyisakan satu pun untuk dipreservasi.
Sebelum disewakan kepada pihak lain para pegawai masih merawat bangunan stasiun dan emplasemennya. Seperti yang ditulis dalam harian Kompas edisi 19 Maret 1984. Para pegawai di Stasiun Langsa masih sering membersihkan rumput dan bangunan stasiun meskipun kereta sudah tidak beroperasi sejak 1980.
Sementara itu, seperti mengutip dari harian Antara edisi 26 November 1984, relnya sendiri dibongkar dan kemudian dijual kepada sejumlah pihak seperti Pusat Koperasi Angkatan Darat dan Yayasan Panglima Besar Sudirman. Proses pembongkaran ini dilakukan atas keputusan Menteri Perhubungan dengan PJKA Eksploitasi Sumatera Utara (kini KAI Divisi Regional I Sumatera Utara) sebagai pelaksana. (RED/BTS)


