[Eksklusif] Liputan Seminar “Sustainable Development of Rail Based Public Transportation in Jabodetabek”
[28/1/2017] Podomoro University bersama dengan Tripartite Universitas Indonesia-Universitas Gajah Mada-Institut Teknologi Bandung pada Kamis kemarin (26/1) mengadakan seminar nasional dengan tajuk “On Sustainable Development of Rail Based Public Transportation in Jabodetabek” (Pada Pengembangan Transportasi Umum Berbasis Rel Yang Berkelanjutan di Jabodetabek) dengan tujuan untuk berbagi informasi mengenai perkembangan transportasi berbasis rel di Jabodetabek serta agar dapat mendukung proses pengembangan dan pembangunan transportasi berbasis rel.
Rektor Podomoro University Cosmas Batubara membawa sambutan kedua. |
Sambutan oleh Elly A. Sinaga mewakili Menteri Perhubungan yang berhalangan hadir |
M. Nurul Fadhila sebagai perwakilan dari PT KCJ menjadi pembicara pertama di sesi pleno I ini |
Realisasi stamformasi KRL KCJ. Biru menunjukkan stamformasi 12, merah stamformasi 10, dan hijau yang menurun stamformasi 8 kereta. |
Contoh konsep integrasi berbasis TOD di Dukuh Atas. Warna kuning menunjukkan perkantoran, warna hijau menunjukkan taman terbuka, dan warna biru menunjukkan fasilitas komersil (Di bawah taman). |
Rencana peningkatan kualitas integrasi pada Stasiun Tebet (Peta ini terbalik, seharusnya kiri arah Manggarai dan kanan arah Bogor-REDaksi) |
Danang Parikesit sebagai perwakilan dari UNIID menjadi pembicara terakhir pada sesi pleno I |
Pemain-pemain besar pada pengembangan transportasi di Jabodetabek. |
Pertanyaan ini pun dijawab oleh Dirut PT KCJ Nurul Fadhila. Pertama Fadhila menjawab bahwa pihak KCJ sudah mengajukan Detailed Engineering Design (DED) kepada Kemenhub supaya bisa meng-upgrade persinyalan di Lintas Kulon guna menambah frekuensi perjalanan. Seperti yang kita ketahui, sistem persinyalan di Lintas Kulon masih menggunakan sistem blok tertutup seperti di era Hindia Belanda, bukan sistem blok terbuka seperti yang digunakan pada masa kini.
Jawaban yang kedua mungkin agak sedikit mengecewakan bagi para pecinta kereta api, Fadhila mengatakan bahwa MRT tidak akan menggunakan sistem through service dengan Commuter Line. Penumpang nantinya hanya akan diakomodir menggunakan sistem transit biasa. Lalu yang terakhir Fadhil menjawab bahwa KCJ sudah memiliki rencana penambahan armada untuk 2 tahun ke depan, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Kesempatan pertanyaan kedua dan terakhir dimanfaatkan oleh seorang peserta seminar yang menyampaikan saran pada PT KCJ juga yaitu untuk menyediakan tempat parkir untuk sepeda di stasiun serta menjadikan agar transportasi umum bisa ramah untuk anak kecil agar aman dilepas sendiri, dan ramah untuk lansia (dan difabel) agar bisa tidak kesulitan menggunakan transportasi umum tanpa dibantu. Kesempatan pertanyaan ini sekaligus menutup sesi pleno I ini.
Pembicara pertama dari sesi pleno kedua ini adalah perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang menggantikan Ikhwan Hakim St, Msc, Ph.D yang sedang berhalangan hadir. Ia menjelaskan tentang pentingnya untuk meningkatkan penggunaan transportasi umum karena penggunaan transportasi umum di Jabodetabek sempat menurun akibat mudahnya memiliki kendaraan pribadi terutama motor. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa suatu pembangunan sistem transportasi tidak boleh sifatnya hanya “ikut-ikutan”, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan finansial daerah tersebut juga.
Werdoyo Santosa sebagai pembicara kedua menjelaskan tentang kebutuhan dan sumber pendanaan pembangunan infrastruktur |
Pembicara kedua adalah Ir. Werdoyo Santosa, MM sebagai Presiden Direktur PT Wijaya Karya (WIKA). Ia menjelaskan mengenai kebutuhan sumber pendanaan pada pembangunan infrastruktur serta perbandingan rasio pendanaan dengan beberapa negara lain. Selain itu, ia juga menjelaskan pentingnya dilaksanakannya SOP dalam setiap proses pembangunan untuk berhasil, terutama ketika pihak asing diajak bekerjasama di mana SOP harus dikenalkan agar pelaksanaan proyek bisa berjalan lancar.
Pembicara terakhir adalah Prof. Dr. Ir. Rizal Z Tamin selaku perwakilan dari Tripartite, yang menjelaskan tentang desain proyek infrastruktur dalam project delivery yang sifatnya penting agar proyek tersebut bisa tertata. Ia juga menjelaskan bahwa pembicara-pembicara sebelumnya dinilai memiliki kekurangan yaitu hampir tidak pernah membahas desain proyek pada infrastruktur, yang ia nilai merupakan kesalahan fatal.
Ia menambahkan bahwa suatu desain perencanaan sendiri juga harus direncanakan secara matang dengan empat komponen yaitu needs (kebutuhan), feasiblity (kelayakan), project delivery design, dan OM (Owner Management). Pada proses ini kemampuan pemilik dalam menerapkan design build menjadi penting.
Ia memberi kasus LRT yang dinilai dibangun tanpa desain karena proyek LRT tersebut jalan duluan sebelum desain proyeknya jelas, serta proyek MRT di mana notifikasi terhadap fasilitas bawah tanah yang bersinggungan dengan proyek juga kurang informatif.
Konsep penyelenggaraan infrastruktur menurut Rizal Z Tamin. |
Setelah selesai pembicara di depan, kembali dibuka sesi interaktif oleh moderator. Sebenarnya, direncanakan tidak ada sesi interaktif karena keterlambatan, tetapi karena catering juga belum siap, maka kemudian dibuka sesi interaktif untuk tiga penanya.
Penanya pertama mempertanyakan bagaimana BAPPENAS mendukung pengembangan transportasi rel yang dapat mendukung pengembangan yang berkelanjutan serta tanggapan mereka dengan keadaan yang sudah ada.
Pertanyaan ini dijawab oleh perwakilan BAPPENAS bahwa untuk saat ini, hal yang bisa dilakukan hanyalah untuk memperbaiki keadaan yang sekarang ada dengan meningkatkan kembali penggunaan transportasi umum, dan menilai bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk memperbaiki keadaan ini, tentunya dengan peran pemerintah juga yang harus menjadikan pengembangan transportasi perkotaan jadi fokus kebijakan.
Penanya pertama masih ingin menanyakan satu hal lagi, tetapi diseling dulu oleh penanya kedua yang menanyakan tentang pendapat BAPPENAS dengan mobil murah 1000cc. Perwakilan BAPPENAS tentu saja menjawab dengan tegas tidak setuju karena melawan spirit peningkatan minat penggunaan transportasi umum.
Penanya pertama kemudian menambahkan kembali ke BAPPENAS bagaimana dengan pekerja di Jakarta yang makin ke sini tinggalnya semakin jauh sampai ke Karawang karena tidak mampu membeli rumah di Jakarta. Perwakilan BAPPENAS kemudian menjawab untuk membuat kawasan bisnis di luar kota sehingga penglaju dari luar Jakarta tidak harus terlalu jauh untuk bekerja.
Penanya terakhir mempertanyakan mengenai tata ruang dalam pembangunan sistem transportasi, yang kemudian dijawab bahwa peraturan tata ruang harus dilaksanakan dengan baik tanpa adanya distorsi oleh pihak lain yang berkepentingan. Pertanyaan terakhir ini mengakhiri sesi pleno II.
Keynote Speech Kedua
Sutanto Suhodo mewakili Plt. Gubernur DKI Jakarta menyampaikan keynote speech kedua. |
Oleh karena catering masih belum siap juga, akhirnya diputuskan bahwa sesi istirahat, shalat, dan makan siang yang sedianya dilakukan seusai pleno kedua akhirnya dilakukan setelah keynote speech kedua yang dimulai pada pukul 13.20.
Pidato ini sedianya disampaikan oleh Plt. Gubernur DKI Jakarta Dr. Soni Sumarsono. Akan tetapi karena berhalangan hadir, maka sesi ini disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Sutanto Suhodo M.Eng selaku Deputi Gubernur DKI Jakarta di Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi).
Ia menyampaikan bahwa Jabodetabek mempunyai masalah utama dengan kemacetan sehingga perlu pengelolaan lalu lintas dan pengembangan Transit Oriented Development dengan memusatkan gaya hidup dekat simpul transportasi umum, sejalan dengan konsep yang sudah disampaikan oleh Kementerian Perhubungan dan BPTJ.
Pada akhir pidato disebutkan bahwa pemerintah DKI Jakarta mendukung pengembangan transportasi rel di Jabodetabek meliputi kebijakan yang mengakomodasi double double track, pengembangan kapasitas KRL, normalisasi tata ruang, investasi untuk infrastruktur, serta transparansi kebijakan.
Tidak cukup sampai di situ, Sutanto kemudian menambahkan pengalamannya mengenai LRT dan monorel, di mana pengalaman kegagalan proyek monorel yang disebutkan karena proses yang tidak pas dapat menjadi pelajaran untuk proyek LRT.
Proyek LRT sendiri dipilih oleh pemerintah karena diharapkan bisa selesai lebih segera dari MRT, dan proses pembangunannya lebih mudah karena lahan yang diperlukan lebih kecil, sehingga tidak terlalu sulit dalam proses pembebasan lahan. Hal ini dikarenakan geometri LRT lebih kecil dibanding metode transportasi rel lainnya, salah satunya adalah radius putar yang lebih kecil dibandingkan MRT.
Oleh karena ini juga, LRT menjadi lebih mudah untuk dibangun di atas jalan raya sehingga meminimalisir pembebasan lahan. LRT tahap pertama yaitu Kelapa Gading-Velodrome diharapkan selesai pada Asian Games 2019 dan sekaligus dijadikan evaluasi bagi LRT. Selain itu, diakui juga bahwa permasalahan klasik bagi proyek seperti LRT lagi-lagi adalah pendanaan.
Sesi ini diakhiri dengan penjelasan bahwa meski pihak swasta memang vital untuk diajak kerjasama dalam mengoperasikan transportasi umum berbasis rel, tetapi tidak mungkin mengandalkan 100% swasta karena biayanya terlalu besar dan sulit menguntungkan jika pihak swasta harus membangun prasarana dan juga mengoperasikan sarana. Oleh karenanya Sutanto menilai pemerintah harus membangun prasarana sebelum kemudian menyerahkan operasi pada operator swasta, sambil menunjuk model serupa yang telah diterapkan pada transportasi busway.
Sesi Pleno III: Teknis (Sarana dan Prasarana, Operasi dan Keselamatan)
Setelah istirahat makan dan salat, pada pukul 14.45 seminar dilanjutkan dengan sesi terakhir yaitu sesi pleno ketiga yang membahas tentang teknis operasional pada pengembangan transportasi berbasis rel.
Sesi ini dimoderasi oleh Ir. Sigit P Santosa, MSME, Sc.D dari NCSTT-ITB, dengan pembicara dari perwakilan ITB, Agung Podomoro University, serta Tripartite.
Pembicara pertama adalah Dr. Tri Desmana Rachmilda ST.MT. mewakili Prof Dr. Yanuarsah Haroen dari ITB. Ia membahas mengenai spesifikasi teknis rolling stock terutama kelistrikan dan pasokan daya pada MRT. Ia membuka dengan menjelaskan tentang sistem elektrik kereta dari segi sarana dan prasarana.
Dari segi sarana, ia menjelaskan tentang motor listrik dan bagaimana caranya bisa menggerkaan rangkaian kereta serta pentingnya untuk memilih motor listrik yang jenis dan dayanya sesuai karena sifatnya vital sebagai pemberi tenaga gerak pada rangkaian.
Dari segi prasarana, ia menjelaskan tentang sistem catenary (Listrik Aliran Atas) dan substation (gardu) serta bagaimana caranya mongkonversi tegangan dari substation yang menggunakan arus AC menjadi 1500V DC, yaitu dengan menggunakan trafo dan rectifier (penyearah), lalu kemudian dikonversi menjadi tegangan AC lagi untuk menggerakkan motor dengan konverter.
Tri Desmana menyampaikan spesifikasi teknis dari KRL MRT Jakarta |
Salah satu yang menarik terutama bagi railfans tentu saja adalah spesifikasi teknis dari armada MRT itu sendiri. Ditampilkan bahwa dari rangkaian 6 kereta, digunakan stamformasi 4M2T (4 kereta penggerak, 2 kereta pengikut) yang umum pada rangkaian KRL 6 kereta. Rangkaian ini akan menggunakan traksi VVVF (Tegangan dan Frekuensi Variabel) dengan motor asinkron tiga fasa dengan keluaran daya total 2240kW untuk satu jam dan 1920kW kontinu.
Setelah itu diterangkan juga TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) sulit untuk dioptimalisasi karena pihak Jepang memang cukup sulit jika “ada barang bukan dari mereka”. Disebutkan juga bahwa diharapkan dapat terjadi transfer teknologi dari Jepang ke Indonesia. Disebutkan juga komponen-komponen yang sebenarnya bisa diproduksi dalam negeri seperti misal panel bus, tetapi komponen seperti penyearah belum bisa diproduksi sendiri karena spesifikasinya sangat khusus.
Rencana gardu untuk jalur MRT Jakarta Lebak Bulus-HI |
Selanjutnya dipaparkan peta peletakkan gardu traksi yang direncanakan di jalur MRT Lebak Bulus-HI yaitu di Dukuh Atas, Sisingamangaraja, Cipete Raya, dan Lebak Bulus. Selain itu disebutkan juga komponen seperti panel bus pada gardu juga bisa diproduksi dalam negri dan produk seperti ini sudah digunakan di lintas Serpong, namun komponen HSCB (High speed circuit breaker) belum bisa karena materialnya sangat khusus. Sementara itu gardu tegangan tinggi yang menyuplai gardu traksi direncanakan ada di Pondok Indah, CSW, dan Gardu Induk MRT.
Pembicaraan ini ditutup dengan pesan untuk memanfaatkan potensi-potensi TKDN yang ada dalam produksi komponen seperti yang telah disebutkan, serta tidak melupakan pentingnya transfer teknologi, jangan sampai kita membeli saja tanpa adanya transfer teknologi.
Endra Joelianto menjelaskan tentang sistem PKO |
Pembicara kedua adalah Endra Joelianto, Ph.D dari ITB yang membahas persinyalan, kontrol, dan otomatisasi (PKO). Ia menyampaikan bahwa di jaman sekarang, sistem persinyalan saja sudah tidak lagi memadai. Harus ada sistem kendali dan otomatisasi untuk meningkatkan keselamatan terutama dengan sistem proteksi kereta, akurasi, dan konsistensi serta mengurangi biaya operasional.
Diterangkan bahwa otomatisasi mencakup kereta, stasiun, dan infrastruktur lainnya. Akan tetapi, penerapan otomatisasi ini harus justifiable atau terbukti dapat memberi hasil yang lebih optimal yaitu peningkatan keselamatan, kenyamana, ketepatan waktu, dan kapasitas, terutama karena otomatisasi dapat membantu pada perkembangan prasarana yang lajunya tidak bisa cukup cepat sehingga dapat mengoptimalkan komponen yang sudah ada.
Selain itu, ditekankan juga pentingnya digunakan sistem terbuka agar komponen-komponen persinyalan, kontrol, dan otomatisasi dapat dengan mudah di-upgrade dengan sistem baru tanpa harus mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi seperti yang terjadi di beberapa stasiun ketika dilakukan peningkatan sistem persinyalan. Hal ini menurutnya disebabkan karena kebanyakan penyedia sistem persinyalan menggunakan sistem tertutup sehingga jika mau upgrade atau integrasi dengan sistem lain, biaya untuk membuka sistemnya bisa lebih mahal dari pembelian sistem itu sendiri. Juga ditekankan pentingnya sistem persinyalan yang sejak awal dispesifikasi bisa di-upgrade dengan mudah agar biaya jangka panjangnya menjadi lebih murah terutama pada proses upgrade, meskipun biaya pada pembelian awalnya memang sedikit lebih mahal.
Pada akhir pembicaraan, diterangkan kerjasama antara KAI dan INKA dengan vendor persinyalan seperti Siemens serta kegiatan riset terkait yang telah dilakukan seperti pengembangan axle counter dan sistem otomatisasi lainnya, dan perkenalan program Pascasarjana Magister Instrumentasi dan Kontrol.
Pembicara ketiga adalah Ir. Suwito, Ph.D dari Agung Podomodo University yang membahas tentang seismic design. Ia menekankan pentingnya menerapkan seismic design untuk melindungi prasarana perkeretaapian dari gempa, terlebih karena wilayah Jabodetabek sendiri memang rawan gempa.
Sistem seismic design menurutnya dibagi menjadi tiga, yaitu force based, performance based, serta displacement based. Sistem force based adalah sistem tradisional di mana struktur dilindungi dari beban eksternal lain dengan nilai kekuatan struktur yang tertentu. Sistem performance based tidak terlalu dibahas karena aplikasinya sulit, tetapi sistem ini disempurnakan dengan displacement based yang berdasarkan batas ketegangan struktur.
Sistem force based design meski memang umum digunakan, tetapi mempunyai beberapa masalah salah satunya karena dalam analisis mengasumsikan ductility yang sudah ditentukan, tetapi pada analisis riil pada struktur yang sama ternyata ductility riilnya berbeda jauh. Sehingga suatu struktur dengan suatu faktor modifikasi tertentu ketika dianalisis maka kemungkinan bisa menjadi lebih aman atau lebih tidak aman karena perbedaan ini. Oleh karena ini, sistem desain force based dianggap sudah tidak sesuai untuk suatu struktur yang kompleks, tetapi masih bisa digunakan untuk struktur yang seragam.
Kemudian dijelaskan displacement based design yang muncul belakangan di mana sistem ini didasarkan berdasarkan ketegangan pada saat terjadinya gempa, berbeda dengan force based design yang didasarkan pada nilai kekuatan struktur. Akan tetapi, disebutkan juga bahwa tujuan kedua pendekatan desain ini adalah untuk membuat struktur yang aman pada saat terjadinya gempa bumi.
Contoh kasus yang disampaikan Suwito untuk desain seismik. |
Tidak lupa juga ia menyajikan contoh kasus sebagai penutup pembicaraan, di mana sebuah struktur semacam jembatan harus dibuat dengan kemampuan elastisitas yang sesuai untuk menghadapi gempa sehingga dapat bertahan, dan dengan membandingkan pendekatan force based dan displacement based design, ia menyimpulkan bahwa pendekatan displacement based design lebih unggul dalam contoh tersebut karena kapasitas strukturalnya lebih besar.
Pembicara terakhir adalah Dr. Ir. Tri Tjahjono, MSc dari Tripartite yang membahas tentang keselamatan transportasi. Ia menerangkan menjelaskan pentingnya menjaga keselamatan pada perjalanan kereta api. Pembicaraan dibuka dengan menyampaikan data kecelakaan KA dari tahun 2007-2011 merupakan periode terparah dengan lebih dari 159 per tahun, lalu 2011 berangsur menurun 59. Ia menyampaikan juga bahwa kecelakaan KA per kilometer di Indonesia termasuk tinggi, dengan yang mendominasi adalah anjlokan.
Berkaitan dengan hal itu, Tri Tjahjono menjelaskan ekspektasinya bahwa kecelakaan terutama anjlok di MRT bisa dikurangi secara signifikan karena desain slab track. Selain itu juga dijelaskan bahwa pada kejadian kecelakaan di negara maju dengan separasi vertikal (Pengelola infrastruktur dan operator berbeda), yang pertama diselidiki adalah pengelola infrastruktur sebelum kemudian operatornya. Disebutkan juga kejadian anjlokan terutama disebabkan oleh masalah infrastruktur.
Tri Tjahjono menyampaikan studi kasus berupa kecelakaan KA di Inggris |
Selanjutnya disampaikan contoh kasus yaitu kecelakaan KA di Paddington, Inggris, 1999 antara KA Thames Local dari luar London dengan KA Great Western dari London Paddington di mana salah satu masinis nyelonong sinyal aspek merah sehingga terjadinya tabrakan, dan karena masinis tersebut meninggal maka pada awalnya publik langsung menyalahkan masinis. Akan tetapi, setelah pengusutan lebih lanjut ternyata banyak masalah lain yang lebih dalam.
Pertama adalah seringnya terjadi pelanggaran aspek merah tanpa terjadi kecelakaan sebanyak 8 kali sehingga kemudian sinyal merah sering disepelekan (Yang juga pernah kerap terjadi di masa lalu di sini). Ditambah lagi dengan layout lintas yang banyak wesel dan terdapat sinyal yang terhalang jembatan penyeberangan sehingga terjadi kesulitan jarak pandang.
Selanjutnya, KA Thames Local tidak mempunyai sistem proteksi ATP (Automatic Train Protection) yang bisa mencegah kecelakaan, dan bercampurnya operasi KA lokal dan kecepatan tinggi juga meningkatkan risiko terjadi kecelakaan, tak peduli persinyalannya apa, dengan mengambil contoh lintas Bekasi-Jatinegara dan menekankan kembali pentingnya penyelesaian proyek double-double track. Disebutkan juga kecepatan yang diijinkan pada wesel dekat stasiun pada saat kejadian sangat tinggi, padahal seharusnya kecepatan memasuki stasiun diturunkan.
Terakhir, disebutkan juga permasalahan pada perusahaan pengelola infrastruktur Inggris Railtrack yang mempunyai bentuk Plc. (Public Limited Company – PT) sehingga bersifat mencari untung dan pada akhirnya terjadi banyak kasus di mana manajemen operasional sering mengabaikan keselamatan untuk penghematan biaya perawatan.
Belajar dari kasus ini dan kejadian fatal lainnya di Hatfield tahun 2000, Inggris kemudian mengeluarkan regulasi bahwa badan usaha pengelola prasarana haruslah milik negara yang sifatnya tidak mencari untung dan investasi pada prasarana terkait adalah investasi pemerintah, dan harus ada Office of Railway Regulations untuk mengecek kelaikan dan keselamatan semua operator perkeretaapian. Berangkat pada kasus ini juga pada akhirnya yang dituntut adalah Railtrack dan nama baik masinis yang sempat tercemar dipulihkan kembali. Selain itu, jembatan penyeberangan di tempat kejadian dipindah sehingga tidak ada halangan untuk melihat sinyal.
Disebutkan struktur keselamatan operasi KA ada enam, yaitu infrastruktur, stasiun dan sekitar, sistem traksi, perlintasan, persinyalan, dan kereta api sendiri. Selain itu juga dijelaskan matriks keselamatan KA yang mencakup enam hal tersebut ditambah masyarakat dan lingkungan, dengan mengambil contoh ada 10 orang mahasiswa UI yang tertabrak KA di wilayah UI Depok sejak kampus berdiri hingga tiga tahun lalu hingga akhirnya dibuat jembatan penyeberangan (Yang sering disebut “Jembatan Aborsi” karena tingginya, hanya kalah dengan halte Busway CSW)
Diagram pola pikir regulasi keselamatan KA |
Disebutkan juga bahwa nantinya dalam operasional KA di Jabodetabek, berdasarkan undang-undang yang ada perusahaan operator KA bisa berbeda-beda, yang kemudian dinilai menjadi masalah karena peraturan perkeretaapian yang sekarang ada masih sangat berdasar pada regelmen milik PT KAI, sehingga harus diperbarui lagi untuk dapat mengakomodasi moda transportasi rel lainnya seperti MRT, LRT, dan sebagainya. Selain itu, juga dipandang diperlukan badan independen seperti ORR di Inggris untuk meregulasi operator-operator KA di Inggris.
Pembicaraan ditutup dengan menyampaikan kesimpulan di mana semua operator harus mempunyai safety management system dan safety culture harus diterapkan dengan target keselamatan sama besar dengan keuntungan, dan budaya seperti ini harus diterapkan secara penuh.
Usai para pembicara berbicara di depan, dibuka pertanyaan dengan dua penanya. Penanya pertama menanyakan tentang alternatif dari teknologi transportasi rel seperti Aeromovel dan Metro Capsule yang lebih murah dari MRT dan LRT. Pertanyaan ini dijawab dengan penjelasan bahwa alternatif Metro Capsule diperkirakan memakan biaya lebih murah dari LRT, sekitar Rp 100 miliar per kilometer dan sudah siap untuk diuji. Jawaban ini kemudian ditambahkan juga bahwa pengujian sebagai pilot project seyogyanya dilakukan di test track sendiri sebelum dilakukan operasional pada publik serta pemerintah harus memfasilitasi biaya litbang, dan faktor keamanan hanya bisa dibuktikan dari pengujian yang dilakukan terus menerus.
Selain itu, disebutkan bahwa dalam mengembangkan suatu sistem baru, kerjasama dengan pihak asing harus dilakukan dengan hati-hati. Kerjasama dengan pihak asing harus dengan adanya transfer teknologi serta penggunaan sistem terbuka untuk kemudahan integrasi dengan sistem yang ada.
Penanya kedua menanyakan tentang adakah badan yang meregulasi kelaikan suatu teknologi baru kereta api. Pertanyaan ini dijawab dengan karena tidak adanya badan seperti itu untuk sekarang, maka kemudian dikatakan seharusnya misal KNKT atau BPPT mempunyai tim panel untuk mengamati teknologi transportasi baru (tidak hanya kereta api) serta operasionalnya.
Selain itu juga disebutkan bahwa proses penerimaan suatu barang baru dalam layanan publik memang tidak bisa dilakukan buru-buru karena kembali disebutkan pentingnya pengujian yang terus menerus sampai benar-benar yakin kelayakannya.
Jawaban ini mengakhiri sesi pleno ketiga, yang kemudian disusul dengan sesi penutupan seminar pada sekitar pukul 16.10 WIB.
Kesimpulan
Penulis sendiri sejujurnya mengapresisasi adanya seminar seperti ini karena bermanfaat untuk mengetahui pengembangan transportasi di Jabodetabek, khususnya berbasis rel, langsung dari ahlinya. Terdapat suatu tema umum yang muncul, yaitu pengembangan TOD di mana pusat kegiatan dibuat terintegrasi dengan transportasi umum, serta pentingnya peran pemerintah untuk membangun prasarana sebelum kemudian menyerahkan operasinya pada operator swasta.
Selain itu, ditekankan juga pentingnya transfer teknologi dalam suatu kerjasama dengan pihak asing serta penggunaan sistem terbuka untuk mempermudah proses integrasi sistem, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam perkembangan teknologi transportasi tetapi juga bisa dapat berkontribusi, serta dapat kemudian mengoptimalkan TKDN
Akan tetapi, seperti yang disebutkan pembicara terakhir di sesi pleno pertama, memang terdapat perbedaan bahasa dan pengertian di antara beberapa pihak (Dalam kasus ini PT KCJ dan BPTJ), yang juga memang terasa di seminar di mana ada beberapa poin yang terkesan kurang sinergi antara badan yang berbeda, yang memang harus menjadi bahan evaluasi bagi pihak yang terkait.
Lalu terkadang pembicaraan yang diangkat mungkin dirasa masih terlalu umum, tidak terlalu fokus pada bidang kereta api. Akan tetapi, terutama pada sesi perencanaan, cukup wajar mengapa pembicaraan tidak dapat fokus pada transportasi rel karena memang kemudian transportasi rel dan transportasi lain harus bisa bersinergi, bukan saling predasi.
Terlepas dari itu, seminar ini Penulis katakan telah berjalan dengan baik dan sukses, dan harapan Penulis akan ada lagi seminar serupa sehingga minat masyarakat dan akademisi pada perkeretaapian menjadi meningkat, serta pengetahuan baik bagi kalangan penggemar kereta, akademisi, ataupun masyarkat umum menjadi lebih baik.
RE Digest|Ikko Haidar Farozy