Citarasa Amerika Latin Pada KRL/KRDE BN-Holec
Pada tanggal 16-18 April 1986, Pemerintah Indonesia mengadakan IndoRail Conference di Jakarta. Acara ini dilaksanakan untuk membahas manajemen kereta api antar beberapa negara dan rencana transfer teknologi untuk kereta rel listrik serta beberapa prasarana kereta api. Perusahaan dan otoritas terkait kereta api dari negara luar yang diundang antara lain adalah Alsthom, Francorail MTE, Nippon Sharyo, Hitachi, British Railways, dll. Beberapa pembahasan yang dilaksanakan lebih banyak ke arah persiapan peningkatan kapasiitas perjalanan kereta api di wilayah Indonesia dan transfer teknologi carbody, bogie serta teknologi traksi VVVF (Variable Voltage Variable Frequency).
Salah satunya adalah penerapan teknologi bogie bolsterless pada kereta rel listrik di Indonesia. Pada tahun itu, KRL di Indonesia masih memakai bogie dengan sistem bolster. Sistem bolster ini dianggap sudah mampu dikuasai oleh Indonesia sehingga diperlukan pencarian partner kerjasama pembuatan bogie bolsterless baik dengan mitra luar negeri dari Jepang maupun Eropa.
Bogie FEPASA
Pada kesempatan ini, Francorail-MTE menawarkan teknologi bogie bolsterless yang diterapkan pada kereta milik FEPASA (Ferrovia Paulista S/A) di Sao-Paulo yakni tipe bogie CL-53 buatan Creusot-Loire. Bogie FEPASA dipakai pada jalur dengan lebar track 1600 mm. Bogie ini diaplikasikan pada kereta TUE Seri 5000. Sekitar 600 bogie dengan rincian 400 motor bogie dan 200 trailer bogie telah dioperasikan di Sao-Paulo sejak tahun 1978. Selain itu, 80% bogie ini telah diproduksi di dalam negara Brazil dalam kontrak transfer teknologi bersama perusahaan manufaktur kereta api Prancis. Selain itu, fitur-fitur dalam bogie ini sudah sesuai dengan kondisi Indonesia.
Hal yang pertama adalah bogie frame. Tipe Bogie frame FEPASA menggunakan jenis fabricated type. Menurut Francorail-MTE, Indonesia memiliki kebutuhan bogie-bogie yang berbeda-beda baik untuk kereta penumpang, barang, kereta diesel maupun kereta listrik. Kebutuhan bogie-bogie yang berbeda-beda menyebabkan beberapa bogie dibuat dalam jumlah yang sedikit. Oleh sebab itu, Indonesia memerlukan kehati-hatian dan membuat standar untuk bogie-bogie yang akan digunakan. PT INKA selaku perusahaan manufaktur kereta dalam negeri menanggapi hal tersebut dengan menyetujui paparan Francorail tentang bogie frame FEPASA dengan catatan bahwa PT INKA membutuhkan beberapa peralatan spesifik, prosedur pembuatan yang spesifik serta technical assistance.
Hal yang kedua adalah instalasi traksi motor dan transmisi. Bogie FEPASA menggunakan tipe axle hung dan nose suspended traction motor. Menurut Francorail-MTE, penerapan tipe instalasi ini merupakan yang termurah serta memberikan ruang yang lebih luas untuk motor sehingga motor listrik dapat mengeluarkan tenaga dan torque secara maksimum. Namun, tipe instalasi ini tidak direkomendasikan untuk operasional kereta dengan kecepatan tinggi dengan kondisi jalur yang tidak bagus. Selain itu, Francorail-MTE beranggapan bahwa jalur-jalur yang telah direhabilitasi oleh PJKA sangat kompatibel menggunakan tipe instalasi motor dan transmisi axle hung – nose suspended. PT INKA juga menyetujui penggunaan sistem ini. Menurut PT INKA inisiasi transfer teknologi ini semacam ini memang baik sebab memberikan alternatif sistem yang sederhana serta murah tetapi tidak menutup kemungkinan transfer teknologi yang lebih canggih di masa yang akan datang.
Bogie FEPASA menggunakan suspensi utama tipe roll rubber (karet). Menurut Francorail-MTE, penggunaan sistem ini murah dan memberikan efek pengurangan baik getaran maupun gerakan lateral bogie lebih baik. Sistem ini juga sangat relevan apabila perusahaan-perusahaan di bidang karet telah menguasai proses pembuatannya secara baik. Bila dibandingkan dengan suspensi karet, suspensi baja memiliki harga yang lebih mahal, tidak terlalu memberikan pengurangan baik getaran maupun gerakan lateral secara maksimal meskipun secara umum reliabel seperti suspensi karet. Francorail dan PT INKA menyatakan bahwa pembuatan komponen ini sangat kritis dan transfer teknologi sangat diperlukan bila dibandingkan dengan mengimpornya. Pada saat itu, Bogie FEPASA masih mengimpor komponen tersebut.
Sedangkan suspensi kedua atau secondary suspension menggunakan suspensi udara dengan sistem pneumatik (damper). Francorail memaparkan bahwa sistem pneumatik ini ringan dan memberikan kenyamanan yang baik dengan automatic levelling dan load measurement. Tetapi, sistem ini sedikit lebih mahal dibandingkan suspensi pegas baja dan memerlukan pengawasan yang ketat. Penggunaan load measurement dan automatic levelling pada sistem kereta urban biasanya sangat menentukan tingkat kenyamanan. Untuk transfer teknologi, bagian-bagian yang sangat penting adalah air bags, pipa pneumatik dan filtering unit sedangkan bagian lainnya dapat dibuat secara konvensional dan dapat dilakukan transfer teknologi.
Sistem pengereman bogie ini menggunakan sistem rem udara dengan 4 blok silinder dengan instalasi di tiap ujung bagian bogie dan menggunakan tread brake berbahan komposit. Menurut Francorail, sistem ini cocok untuk Indonesia sebab dapat diaplikasikan pada axle load rendah . Selain itu biaya perawatan yang murah menjadi salah satu kelebihannya. Untuk blok silinder, Indonesia meminta agar dapat dibuat di Indonesia dengan mitra dari perusahaan luar negeri yang terspesialisasi di bidangnya.
Beberapa tahun kemudian, Francorail-MTE terpecah menjadi dua yakni di bawah naungan Alsthom dan Bombardier (BN). Hal ini menyebabkan beberapa dokumen-dokumen yang dimiliki BN tersebar dan dapat digunakan oleh dua perusahaan baik Alsthom maupun Bombardier. Dokumen tentang teknologi bogie dan konstruksi lain-lainnya pun dimiliki oleh Alsthom dan Bombardier.
Pada tahun 1994, Konsorsium INKA, BN dan Holec Ridderkerk memenangkan tender pengadaan Kereta Rel Listrik baru dengan program alih teknologi beserta bogie. Konsorsium ini memberikan transfer teknologi bogie yang sama seperti bogie yang pernah dipresentasikan oleh Francorail MTE sebelumnya. Namun dengan sedikit perbedaan setelah diskusi lebih lanjut.
Permasalahan di Indonesia
Bogie ini ternyata memiliki beberapa permasalahan setelah diaplikasikan di Indonesia. Salah satunya adalah permasalahan lepasnya motor listrik salah satu kereta KRL BN-Holec pada saat uji coba di testtrack PT INKA. Lepasnya motor listrik ini disebabkan kesalahan machining gigi-gigi face spline coupling dan kesalahan prosedur pengencangan baut pengikat kopling dengan menggunakan locktite yang terlalu cepat mengering sehingga mengakibatkan kurang kuatnya torsi pegencangan baut pengikat. Kesalahan sekunder disebabkan karena kelemahan konstruksi bearing arm, yaitu kurang amannya baut penahan motor traksi dan baut pengikat safety catch yang membuat lepasnya safety catch.
Akhirnya, BPPT melakukan modifikasi pada sistem transmisi dan komponen bogie KRL. Perbaikan ini hanya berlaku untuk KRL yang masih dalam tahap produksi dan tidak diterapkan pada produksi KRL selanjutnya. Hal ini disebabkan konstruksi transmisi masih mengalami kesulitan dalam pemasangan dan pelepasan motor traksi. Sehingga, BPPT menyarankan perubahan desain transmisi dan penyempurnaan.
Permasalahan lainnya antara lain :
- Terlalu lamanya waktu yang diperlukan dalam pembongkaran badan kereta terhadap bogie karena rumitnya peralatan mekanik dan sistem sambungan kabel. Bila menggunakan perbandingan, pembongkaran bogie KRL BN/Holec membutuhkan waktu lima hari dengan dua orang pekerja sedangkan bogie KRL Jepang hanya memerlukan waktu dua hari dengan dua orang pekerja.
- Konstruksi gear box yang menyulitkan saat pembubutan (reprofile) roda sehingga gear box perlu dibuka. Padahal menurut ketentuan, gear box hanya perlu dibuka setelah mencapai satu juta km masa operasi.
- Konstruksi bogie frame H dengan end-beam yang dianggap mempermudah perawatan justru malah mempersulit. Menurut BPPT, konstruksi H dengan end-beam tidak memberikan kontribusi yang banyak. Konstruksi ini hanya digunakan untuk menggantung tread brake dari sisi luar roda.
- Roda cepat aus karena penggunaan bahan tread brake yang tidak sesuai serta sistem pengereman yang hanya bertumpu pada satu sistem saja.
Transfer teknologi bogie ini tidak dapat ditentukan secara independen oleh Pemerintah Indonesia dan harus mengikuti kebijakan dari perusahaan manufaktur kereta api. Hak kekayaan intelektual sangat penting dan dipertimbangkan dengan matang-matang oleh perusahaan. Sehingga terkadang penerapannya bisa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini, hal itu sudah mulai agak berkurang karena pemesan dapat melakukan negosiasi lebih jauh untuk menentukan reliabilitas kereta yang akan digunakan di jalurnya dengan perusahaan yang akan melakukan produksi kereta tersebut. (RED/rnovanto)
Sumber:
Bombardier Transportation. 2005. Bombardier Transportation A Global Transportation Leader. Jepang : JRTR.
Francorail-MTE. 1980. Creusot Loire Division Traction Railroad Division. Prancis : Francorail-MTE.
Gondoprajogo, Juliarso. 1999. Pengkajian Tentang Konstruksi Sistem Transmisi dan Komponen Bogi Kereta Rel Listrik. Jakarta : BPPT.
Pontanel, Eric. 1986. Practical Technology Transfer Applied to Rolling Stock. Jakarta : PT Konfereks Indo Prima via Perpustakaan Nasional.