[OPINI PEMBACA] Bayangkan Jika Organisasi Sosial Jadi Ahli di Semua Bidang, Termasuk yang Bukan Urusannya

Artikel di bawah ini adalah opini dari Pembaca sebagai tulisan REDCitizen. Penulisan opini ini tidak mewakilkan pandangan resmi dari Tim REDaksi
REDigest.web.id – Isu terkait program kerja calon presiden terpilih dan perubahan kebijakan, khususnya yang berdampak pada demokrasi, menjadi perhatian publik. Banyak organisasi dan pengamat menyoroti menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah. Salah satunya adalah aksi dari organisasi sosial non-profit (NGO) yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) pada Jumat (21/2) lalu di KA 1315 relasi Bogor – Jakarta Kota, yang dikonfirmasi oleh KAI Commuter melalui DM Instagram penulis.
Mereka membentangkan flyer berukuran A4 secara berkelompok di setengah rangkaian kereta, seperti terlihat pada gambar di bawah.
Postingan di aplikasi X mendapat lebih dari 30 ribu likes dan 8,9 ribu retweet, memicu pro dan kontra. Bagaimana pandangan penulis dalam konteks aturan dan kebebasan berpendapat? Simak pembahasannya berikut ini.
Bagaimana tindakan ini dipandang sebagai bagian dari civil disobedience?
Dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum di Bab IV Pasal 9 tentang Bentuk-Bentuk dan Tata Cara Menyampaikan Pendapat Muka Umum, ayat 2 yang berbunyi

Pelanggaran Pasal 9 ayat (2) dapat dikenai sanksi sesuai hukum yang berlaku sebagaimana yang tertulis di Pasal 16, dengan KAI Commuter sebagai pengambil keputusan. Sementara itu, pengguna X @DianRatrinia menanyakan sikap @antikorupsi (ICW) terkait aksi di KRL.

Penulis melihat aksi ICW sebagai bentuk civil disobedience, yaitu pembangkangan sipil terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Mengacu pada teori Henry David Thoreau, tindakan semacam ini bertujuan mendorong perubahan kebijakan pemerintah. ICW melakukan aksi ini untuk menarik dukungan publik di tengah situasi sosial-politik yang memanas.
Namun, karena pengguna transportasi umum memiliki beragam pandangan, tidak semua merasa nyaman dengan aksi tersebut. KAI Commuter akhirnya menjatuhkan sanksi administratif dengan menurunkan pengguna KRL sekaligus pemegang flyer di Stasiun Gondangdia. Sementara itu, respons netizen di akun @kerandoman_sepur pasca mengetahui adanya kejadian tersebut di Instagram menunjukkan perspektif yang lebih positif dan bijak.
“Bro kami sebenarnya secara tersirat juga sependapat dengan opini kalian, tapi please sadar tempat. Transportasi umum tempat mencari keheningan sejenak dari hiruk pikuk kesibukan perkotaan.” (Instagram/@wiratama.nugraha)
“Transportasi umum mmg bt umum, tp bkn bt kampanye ataupun menyampaikan orasi pribadi atau golongan.” (Instagram/@dimas_sachio)
Tindakan ini menunjukkan bahwa pemahaman organisasi sosial non-profit (ICW) menurut Penulis belum sepenuhnya tepat tentang kebebasan berpendapat di muka umum. Selain itu, dalam sebulan terakhir, organisasi ini juga membuat pernyataan lain yang cukup mengejutkan Penulis.
GAPEKA 2025 : Apakah terlalu overreach terhadap korporasi?
Pada 7 Februari silam, ICW membuat pernyataan yang mengejutkan para pecinta kereta api. Mereka mengajukan keberatan terhadap GAPEKA 2025, dengan peneliti ICW, Dewi Anggraeni, mempertanyakan tujuan dan urgensi kebijakan tersebut.
“Apa dasar dari perubahan itu? Perubahan jadwal itu begitu, ya. Apa mereka sudah dari PT. KAI begitu, ya? KAI Commuter Line sudah menimbang dampaknya yang akan dirasakan pengguna transportasi KRL.”
Peneliti ICW menurut Penulis cenderung tendensius dalam pernyataannya terkait GAPEKA 2025 yang berdampak pada jadwal, anggaran, dan tata kelola layanan publik. Meski kritik terhadap GAPEKA 2025 wajar, pernyataan Dewi yang lain justru menimbulkan polemik.
“Pengadaan kereta ini seberapa banyak, anggaranya dan lain sebagainya. Yang pada akhirnya apakah akan mendukung pelayanan transportasi publik begitu, ya, Jadi kami mau minta tidak hanya sekadar alasan adanya perubahan jadwal. Kita harus lihat yang lebih luas begitu. Tata kelolanya di PT KAI Commuter ini. Dari pembelian keretanya, anggaranya berapa,”
Lagi dan lagi, penulis menilai tindakan ini sebagai overreaching, yakni melampaui batas kewenangan atau keahlian. Kritik terhadap kepadatan KAI Commuter di jam sibuk perlu memahami konsep kapasitas lintas, yang dipengaruhi oleh jalur, persinyalan, jumlah rangkaian, kecepatan operasional kereta, serta kemungkinan adanya susulan atau silangan di lintasan tersebut.

Dewi mengklaim KAI Commuter bertindak tanpa persetujuan PT KAI, yang mana hal tersebut merupakan misleading. KAI Commuter bertanggung jawab atas jadwal dan sarana di Jabodetabek, termasuk KRL, KA Bandara, dan KA Lokal, sementara PT KAI hanya mengelola Kereta Api Jarak Jauh (KAJJ). Dewi juga tidak mempertimbangkan GAPEKA 2025, yang secara jelas memisahkan kewenangan tersebut. Jalur yang dikeluhkan pun memiliki persilangan dengan KA antarkota, sehingga KRL harus menyesuaikan.
Akses terkait data-data ini diakses dengan terbuka melalui website DJKA atau melalui Railway Enthusiast Digest (RED) yang di website pada link ini. Sumber Grafik Perjalanan Kereta Api beberapa tahun ini merupakan sumber terbuka yang dapat diakses oleh siapapun, termasuk Dewi dan tidak memerlukan akses apapun untuk mendapatkannya. Analisis grafik dan jadwalnya juga dapat dilihat secara menyeluruh melalui 1.700 halaman yang sudah disediakan.
Selain itu, pengadaan sarana kereta oleh KAI Commuter dilakukan sesuai standar, termasuk impor kereta dari JR East sejak 2013 dengan masa kontrak 6 tahun pada 2019, dilanjutkan pada pengadaan di luar Jabdoetabek pada tahun 2020. Isu pengadaan ini pernah memicu pro dan kontra pada 2022, yang seharusnya bisa menjadi bahan kajian lebih lanjut sebelum menyampaikan kritik.
Kesimpulan
NGO berperan dalam menyuarakan kepentingan banyak orang, dan itu bukan masalah. Namun, ketika pernyataan yang dibuat tidak didukung riset dan data yang valid, justru menimbulkan polemik.
Sebagai penutup, ada satu kutipan yang menurut Penulis mencerminkan bagaimana sikap NGO ini terhadap institusi besar yang memiliki tata kelola yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Many of the boldest NGO’s revel in raising question about the accountability of powerful public and private institute—without accepting the same accountability for their own actions.” (Snow; 1997,162).

Sekian dan terima kasih, yang telah menyempatkan membaca artikel ini sampai akhir, walaupun banyak kekurangan dalam artikel ini. (RED Citizen Journalism/Panji Arrashka)
Flat sapienta prevalet.
Referensi :
Afif, S. N. (2021, August 29). Mengenal civil disobedience movement: Sebuah bentuk perlawanan masyarakat sipil. Kumparan. Retrieved from https://kumparan.com/afifsatria678/mengenal-civil-disobedience-movement-sebuah-bentuk-perlawanan-masyarakat-sipil-1wQPYoHwHLD
Nabila, R. (2025, February 7). ICW protes kebijakan Gapeka 2025 karena picu keterlambatan. Tirto.id. Retrieved from https://tirto.id/icw-protes-kebijakan-gapeka-2025-karena-picu-keterlambatan-g76P#google_vignette
Novarizal, F. (2014, May 8). KAI-KCJ gandeng East Japan Railway. Bisnis.com. Retrieved from https://ekonomi.bisnis.com/read/20140508/98/226156/kai-kcj-gandeng-east-japan-railway
Snow, C., Jr. (1997). NGO overreach: Greenpeace pours oil on troubled waters but can’t clean it up. Fletcher Forum of World Affairs, 21(1), 161.
The Editors of Encyclopaedia Britannica. (2025, February 11). Civil disobedience. Encyclopedia Britannica. Retrieved from https://www.britannica.com/topic/civil-disobedience
Thoreau, H. D. (1993). On the duty of civil disobedience. AC Fifield.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.