IndonesiaKereta ApiOpini

[OPINI] Grafik Perjalanan KRL 2017 Kacau, Ada Apa?

Kepadatan luar biasa pada rangkaian 8 kereta Lintas Bogor di jam sibuk

1 April lalu, perkeretaapian kita menyambut kehadiran Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) 2017. Seluruh Daop, Divre, dan anak perusahaan KAI bersiap untuk mengoperasikan keretanya dengan GAPEKA baru ini. Tak terkecuali PT KAI Commuter Jabodetabek (Selanjutnya disebut KCJ) sebagai operator KRL di Jabodetabek.

Pengoperasian GAPEKA KRL baru ini penuh dengan ekspetasi perjalanan KRL yang lebih nyaman, kurang antrean, dan tepat waktu. Namun, ya namanya juga hidup, seringkali ekspetasi berbanding terbalik dengan realita. Pengurangan jadwal terutama Lintas Tangerang, SF yang memendek, penumpukan penumpang, kereta yang semakin sesak, hingga tindakan anarkis mewarnai minggu-minggu awal GAPEKA baru ini, sehingga tidak heran banyak penumpang tentu saja mengamuk. Parahnya lagi, KCJ tampaknya malah pasrah dan hanya bisa berkata “penumpang belum terbiasa“. Padahal bayangkan saja dengan segala perubahan negatif di atas, bagaimana penumpang menjadi tidak mengeluh?

Memang untuk saat ini, the show must go on, tetapi tentu saja tidak salah juga ketika suatu perubahan itu membawa kehancuran, maka perubahan tersebut harus dikritik, apalagi seminggu telah berlangsung sejak GAPEKA baru diterapkan, sudah banyak masukan-masukan terutama dari pengguna jasa KRL.

Perbandingan GAPEKA 2015 dan 2017. Perhatikan terutama Lintas Tangerang dan feeder yang dikebiri habis-habisan (pnpcl)

Jadi sebenarnya, apa saja yang sampai kemudian terjadi kekacauan ini?

Lintas Bogor dan Kulon: Perampokan Rangkaian 10 Kereta, Kesalahan Strategi KRL Rangkasbitung

Uji coba KRL Rangkasbitung pada 24 Februari lalu | picture by: Juli Ana
Sebelum menjelaskan siapa, kita review dulu kekacauan yang terjadi selama seminggu terakhir. Yang pertama adalah memendeknya SF di jalur paling ramai di Daop 1 Jakarta. Ya, Lintas Selatan Jabodetabek. Pada GAPEKA 2015 lalu, Lintas Selatan Jabodetabek begitu gemah ripah loh jinawi dengan dikaruniai 12 rangkaian SF10 dan 14 rangkaian SF12 dari total 42 pemerjalanan.
Namun, saat ini cobalah Anda perhatikan rangkaian yang beroperasi di Lintas Selatan, mayoritas SF8! Tak tanggung-tanggung, SF8 yang biasanya hanya menguasai Lintas Bogor Loop Line (Bogor-Manggarai-Tanah Abang-Jatinegara) mulai merambah ke lintas yang biasanya didominasi SF10 dan 12 seperti Tanah Abang-Angke hingga Manggarai-Jakarta Kota. Total, ada 25 rangkaian SF8 dari 45 pemerjalanan di Bogor, dan hanya ada 13 rangkaian SF12 serta 7 rangkaian SF10. 
Lintas Selatan yang sudah padat jadi semakin padat. Ibaratkan saja SF12 adalah baskom besar, SF10 baskom sedang, SF8 adalah baskom kecil, dan penumpang adalah air. Ibaratkan air yang biasa ditampung dengan baskom besar dan sedang dipindahkan semuanya ke baskom kecil. Apa yang terjadi? Sebagian besar air tumpah dan tidak tertampung.

Begitulah dengan pengaturan rangkaian di Jabodetabek saat ini. Pengaturan saat ini terasa agak kurang adil dan banyak terjadi kesenjangan. Mengapa senjang? Karena begitu banyak rangkaian SF10 yang sebelumnya beroperasi di Loop Line dilempar ke Green Line dan diganti dengan SF8. Padahal jika dikira-kira jumlah penumpang di Loop Line lebih banyak ketimbang di Green Line karena penumpang Loop Line merupakan gabungan sejumlah lintas seperti Lintas Selatan, Bekasi, Tangerang, bahkan Green Line itu sendiri. Data tahun 2016 saja menyebutkan penumpang Lintas Bogor itu 70% bagian dari penumpang KRL Commuter Line! Bayangkan saja ketika kemudian lintas dengan penumpang sebanyak itu tulang punggungnya adalah rangkaian pendek, jauh-jauh pula. Ini bukan Lintas Fukutoshin-Toyoko-Tojo di mana SF8 berjumlah 40 lebih dengan headway yang singkat, SF10nya juga tetap jadi tulang punggung armadanya (lebih dari 50 di ketiga jalur tersebut), dan tidak berebut dengan KAJJ.

Penambahan rangkaian SF10 di Lintas Kulon, serta dengan akan beroperasinya KA Bandara, membuat efek domino yang dirasakan di tiga jalur lain. Akibat dari bertambahnya SF10 di jalur hijau, lintas Bogor harus mendapat asupan SF8, yang kemudian diambil dari pemerjalanan Tangerang dan feeder, serta bertukar 1 rangkaian SF12 dan 1 rangkaian SF10 dengan jalur Bekasi. Terlalu banyaknya SF8 di Bogor ini ternyata tidak menolong memecah kepadatan penumpang, melainkan hanya memperburuknya. Mayoritas penumpang lintas Bogor pun mulai mengeluh. Salah satunya Guritno Aji, warga Pondok Terong, Cipayung, Depok. Saking kecewanya narasumber, sampai-sampai nama Commuter Line dipelesetkan jadi Pepes Line. “Iya mas, naik Pepes Line sekarang lebih menderita daripada kepanasan dan kehujanan kalo naik motor. Saya nyadar, penumpang lain juga sadar kalo rangkaian yang 10 gerbong sama 12 gerbong berkurang, dan yang banyak yang cuma 8 gerbong ini. Ini lebih parah dari waktu saya masih SMK dulu, dulu saya naik kereta ekonomi bawa ransel masih muat, sekarang bawa tas kecil udah empet. Semoga ditambah lagi lah itu yang 10 ama 12 gerbong”, begitu katanya ketika diwawancarai oleh Tim REDaksi. Penumpang lintas Bogor lainnya, yaitu Praditya, mengutarakan hal yang hampir sama. “Ingin rasanya saya hajar yang bikin jadwal, menganakemaskan jalur yang tidak seharusnya jadi anak emas. Ini pasti ada permainan di belakang”, ujarnya.

Pemindahan rangkaian SF10 ke Lintas Kulon juga dirasakan dampaknya oleh agensi periklanan yang menjadi mitra PT KCJ dalam urusan periklanan di kereta. Menurut salah seorang karyawan di salah satu agensi periklanan yang bekerjasama dengan PT KCJ, pengalihan sebagian besar KRL seri 205 ke jalur barat berdampak pada kegiatan pemasaran spot iklan di KRL. Pihaknya mengeluhkan sulitnya menjual spot iklan di KRL yang beroperasi di jalur barat, sebab sebagian besar klien menginginkan iklan dipasang di KRL seri 205 untuk rute Bogor-Jakarta Kota dan Bogor-Duri, yang berarti KRL seri 205 SF10 dan SF12. “205 adalah kereta favorit, apalagi yang beroperasi di rute Bogor. Sebab rute Bogor adalah yang paling ramai dan melalui daerah-daerah ramai pula. Memasang iklan di 205 menyenangkan bagi klien dan juga memudahkan bagi kami, karena keretanya sering beredar dan ukuran slot iklan pada celling panelnya seragam.” tutur karyawan yang tidak ingin disebutkan namanya ini. “Saya harap, hal ini dievaluasi, dan sebagian rangkaian KRL seri 205 itu dipindahkan lagi ke jalur Bogor”, ujarnya lagi.

Akar dari permasalahan ini salah satunya adalah penghapusan KA Lokal yang dilakukan secara sekaligus. Rencana awal yang sudah lama beredar adalah layanan KA Lokal ke Rangkasbitung akan digantikan oleh KRL, akan tetapi, rencana ini tidak memperhitungkan bahwa jumlah rangkaian KRL akan sampai sebanyak itu yang diambil dari Bogor pula.

Meski pada hari pertama operasional seperti yang Tim REDaksi temui penumpang menanggapi positif operasional KRL karena banyaknya perjalanan dan kepraktisan secara umum, tetapi mereka mengkritik kepadatan penumpang yang sangat tinggi baik di KRL ataupun stasiun terutama Tanah Abang, dan kenyamanan yang lebih rendah daripada KA Lokal.

Akhirnya timbul suatu dilema karena KRL Rangkasbitung tidak sampai Angke seperti zaman Lokal Rangkas dulu, tetapi hanya sampai Tanah Abang, praktis, kepadatan penumpang tujuan Rangkasbitung yang dulunya terpecah antara Angke dan Duri berpindah semua ke Tanah Abang. Hal ini juga menjadi dilema karena jika KRL Rangkasbitung diperpanjang sampai Angke, justru dikhawatirkan akan timbul keterlambatan tinggi yang bisa memperparah keadaan.

Kepadatan yang sangat tinggi terjadi di Stasiun Tanah Abang

Tim REDaksi yang mendengar pendapat tersebut tentu saja menjadi concerned ketika operasional KRL Rangkasbitung mulai dilakukan pada hari kerja, dan… Benar saja, penumpang Rangkasbitung pun mulai minta hal yang aneh-aneh, yaitu minta KRL diadakan toilet dan juga rutenya diperpanjang ke Duri atau Angke seperti yang disebutkan di atas, yang semoga saja akan men-trigger kedatangan KRL tipe suburban yang dioperasikan khusus untuk jalur ini, bila kemudian suara ini didengar oleh KCJ.

Ke-32 rangkaian SF10 milik PT KCJ

Tidak hanya itu, baru-baru ini di sebuah stasiun televisi swasta nasional, pihak PT KCJ telah menyampaikan jawaban dari keluhan soal berkurangnya SF panjang di lintas Bogor, dengan  alasan sedang perawatan. That’s a total bullshit. Alasan ini adalah sebuah kebohongan yang cukup dapat membuai para penumpang, sampai mereka baca penjelasan kami di tulisan ini. PT KCJ memiliki total 32 rangkaian SF10, dengan rincian 26 rangkaian seri 205, dan 6 rangkaian seri 6000, per 1 April 2017. Ke-32 rangkaian ini disebar di 3 jalur, yaitu Bogor (7), Bekasi (7), dan Rangkasbitung (16), sedangkan 2 lainnya untuk serep. Bisa dilihat sendiri dari ketimpangannya bahwa jalur Rangkas dengan jumlah total 16 pemerjalanan (16 rangkaian) setiap hari alias 100% SF10, dengan jalur Bogor yang hanya tersedia 7 dari 45 pemerjalanan (rangkaian), atau sekitar 15.55% saja! Sedangkan pemerjalanan SF12 hanya 28.88% dan SF8 menjadi tulang punggung dengan jumlah 55.55%! Jadi, bukan karena perawatan, namun karena memang dirampok. Hal ini tidak ubahnya mengembalikan jalur Bogor ke zaman lucknut Divisi Jabodetabek di mana seluruh rangkaiannya merupakan SF8. Ironisnya lagi, mayoritas rangkaian SF10 sekarang justru berada di bawah naungan dipo Bogor dan melakukan perawatan bulanan di sana! Dan juga, belum ada kejelasan kapan KRL SF10 pembelian tahun anggaran 2017 tiba di Indonesia. Bercermin dari tahun lalu, andaikan situasi sama idealnya, kedatangan pertamanya saja baru dilakukan akhir Juli, dinas pertama setelah uji jalan dan sertifikasi pertengahan September, dan baru lengkap awal Januari tahun ini. Meski memang uji jalan rangkaian kelompok kedua dan ketiga lebih singkat dari kelompok pertama karena sudah familiar dengan KRL Tokyo Metro 6000 VVVF, tetapi tetap saja waktunya adalah hitungan bulan. Bisakah penumpang menunggu selama itu? Enggak mungkin!

Lintas Tangerang: Headway Mimpi Buruk, ARS Ghaib


Tidak hanya salah strategi pengoperasian KRL Rangkasbitung saja yang membuat masalah, tetapi juga salah strategi dalam mengakomodasi perjalanan KA Bandara. Untuk masalah ini, yang terkena imbas paling parah adalah Lintas Tangerang, yang juga tidak langsung terkena imbas dari penambahan rangkaian 10 kereta untuk Rangkasbitung juga.

Lintas Tangerang seperti kita ketahui adalah lintas terakhir yang sampai tahun 2017 ini tidak pernah dilintasi rangkaian KRL 10 kereta, dengan headway yang jarang pula bahkan untuk skala GAPEKA 2015, di mana untuk pagi hari headway KRL adalah 15 menit sekali, dengan headway pada siang hari bisa sekitar 30-45 menit. Sementara untuk GAPEKA 2017, headway KRL sepanjang hari dibuat merata 30 menit bahkan di jam-jam sibuk dengan alsan apa? Mengakomodir GAPEKA untuk KRL Bandara yang entah Juli ini beneran akan siap belum. Oleh karena itu tidak heran Tim REDaksi menamai bagian ini ARS Ghaib.

Penumpang yang membludak di Stasiun Poris
Detik

Tidak heran pula jika kemudian pada hari pertama rush hour GAPEKA 2017 pada hari Senin 3 April, terjadi bencana yang amat besar. Lintas Bogor bolehlah sudah sangat menderita, tetapi bayangkan lintas yang di GAPEKA 2015 saja sudah miskin perjalanan, tiba-tiba lebih dimiskinkan lagi, rangkaiannya SF8 semua pula. Alhasil banyak penumpang yang tidak dapat terangkut KRL Commuter Line. Announcer tidak dapat berbuat banyak selain mengingatkan penumpang untuk tidak memaksakan diri menaiki rangkaian yang sudah penuh, tetapi apa daya? Rangkaian belakangnya terlalu jauh, waktu kerja mepet.

Jelas saja pada akhirnya penumpang Lintas Tangerang langsung mengamuk dan dengan amat cepat membuat petisi untuk memperbaiki GAPEKA KRL Tangerang. Petisi ini berhasil dan dengan segera PT KCJ merevisi jadwal KRL Tangerang, dan berhasil mengurangi headway dari 30 menit mejadi 20 menit saja.

Petisi perbaikan GAPEKA di Lintas Tangerang yang dibuat di change.org

Tetapi sayangnya hal tersebut tidak memberikan dampak signifikan. Penumpukan penumpang masih saja terjadi. Jumlah jadwal perjalanan masih belum cukup untuk mengurangi kepadatan yang terjadi. Hal itu diperparah dengan proyek pembangunan gedung baru Stasiun Duri yang membuat keadaan semakin parah.

Perbandingan jawal Tangerang GAPEKA 2015 (kiri) dan 2017 pascarevisi (kanan; GAPEKA 2017 hasil revisi oleh Roker Tangerang, GAPEKA 2015 oleh KCJ)

Belum lagi kenyataan adalah revisi jadwal ini hanya berlaku sebelum KRL Bandara dioperasikan. Ketika KRL bandara dioperasikan, ya akan kembali lagi dengan jadwal mimpi buruk 30 menit sekali merata. Pertanyaan yang paling mendasar adalah, dengan digunakannya sinyal blok terbuka seperti yang ada di Lintas Bekasi, mengapa headwaynya harus dibuat selama itu?

Untuk Duri sendiri, ada satu hal yang agak menggelitik bagi kami. Seperti kita tahu, Duri merupakan stasiun transit sekaligus perhentian akhir bagi KRL Tangerang. KCJ selaku operator mengeluarkan statement yang sedikit lucu yakni meminta penumpang Duri untuk turun di Grogol. Elu bercanda tong? Terus transit ke Tanah Abang atau Lingkar Timur gimana? Bagaimana bagi yang kerja atau kuliah di wilayah selatan Jakarta? Gelut ku aing sia.

Lintas Bekasi: Balada KRL Bekasi dan Parsialan Nirfaedah


Meskipun Bekasi tampaknya mengalami penderitaan yang terkecil di antara semua lintas dan justru diuntungkan dengan adanya perjalanan KRL Lingkar, untik ssaat ini, rute tersebut hanya gimmick belaka dengan empat kali perjalanan, yang lucunya sudah berani diklaim telah mengurangi antrean. Padahal hanya dengan memindahkan satu loop perjalanan dengan jadwal yang nanggung sekali masih belum sepenuhnya mengentaskan antrean, pun tidak menyembuhkan penyakit Lingkar Timur yang seringkali kekurangan KRL dikarenakan miskinnya jadwal KRL Bogor-Jatinegara PP.

Selain itu, terdapat suatu masalah di Lintas ini yang merupakan salah satu yang lucu bagi kami. Kenapa? Karena dengan melihatnya saja anda sudah bisa merasakan aura komersialisasi dan kapitalisme yang kental seperti kopi Toraja yang biasa kami seduh setiap pagi.

Lebih lucu lagi ketika anda melihat spanduk sosialisasi tarif parsial ini. Terdapat kata yang agak sedikit “ngenyek” dan terkesan meledek. Di spanduk terdapat tulisan “pasti dapat duduk tanpa berdesakan”. Kami melihat spanduk tersebut seperti seorang bapak yang tengah meledek anaknya sendiri. Sangat lucu, saking lucunya kami tidak tahu harus tertawa atau miris melihatnya.

“PASTI DUDUK TANPA BERDESAKAN”. Nice try.
Dalam hati kecil kami pun bertanya-tanya, memang benar kalau parsialan bisa jadi berguna untuk orang yang sangat malas antrean dan terburu-buru untuk terutama mengejar KAJJ dari Gambir atau Pasar Senen, tetapi untuk apa tarif parsial diberikan hanya sampai Bekasi? Kenapa tidak sampai tempat yang “sedikit” lebih jauh dan alternatif kereta apinya sedikit seperti Cikarang, Karawang, ataupun Cikampek? Don’t be silly lah. Inilah yang kami sebut “parsialan nirfaedah”.
Masalah paling utama pada KRL Bekasi adalah, jadwal pada jam pagi meskipun memang digeser sehingga ada jadwal KRL yang lebih subuh, tetapi berakibat pada rusaknya tatanan jadwal KRL yang seharusnya diberangkatkan pada pukul 6 pagi. Seperti yang tampak pada gambar berikut:
Kiri GAPEKA 2015. Kanan GAPEKA 2017, yang ditebalkan adalah Bekasi-Jakarta Kota via Pasar Senen (KCJ)
Akibat dari penatan ulang jadwal, yang paling terasa adalah pada sekitar pukul 6 pagi seperti yang disebutkan di atas, headway KRL menjadi tidak keruan karena waktu tunggunya melonjak semua dari 10 menit merata menjadi 11-15 menit, bahkan antara KA 1313 hingga 1471 (Bekasi-Jakarta Kota via Pasar Senen pertama), waktu tunggunya bisa sampai 20 menit, dan mempersulit mayoritas penumpang Bekasi yang pada umumnya mulai ramai pada jam tersebut.
Saran
Tentu saja tidak akan berguna jika kita mengkritik tanpa solusi, karena kritik yang baik adalah kritik yang memberikan saran yang membangun, dan itulah mengapa kami Tim REDaksi menulis artikel ini.
Pertama, mengenai permasalahan Rangkasbitung, menurut Tim REDaksi, seharusnya pengoperasian KRL Rangkasbitung dilakukan secara perlahan-lahan, tidak sekaligus. Setidaknya loop lokal dihapus perlahan-lahan, seperti rencana awal di mana KRL hanya dijalankan satu loop dulu sebagai ujicoba, lalu pelan-pelan KA Lokal dihapus, sehingga tidak langsung tumplek blek menciptakan permasalahan seperti ini karena rangkaian SF10 Bogor langsung diambil sekaligus. Tunggulah KRL Tokyo Metro 6000 VVVF lengkap semua semestinya, agar jumlah loop yang diambil bisa ditutup
Seandainya saja hal tersebut dilakukan, tentu Lintas Bogor tidak akan sampai defisit SF10 sangat parah dan jumlah SF8 yang harus dirampok dari Tangerang pun tidak akan begini banyak, sehingga pada akhirnya Tangerang tidak harus disiksa dengan perjalanan yang sedikit yang diperbanyak pun terbatas pada rangkaian yang tersedia. 
Untuk lintas Tangerang, semestinya dipikir lagi mengenai pembuatan headway yang segitu longgarnya. Lintas Bekasi yang lalu lintas KAJJnya sangat banyak saja tidak sampai kemudian disiksa dengan headway 30 menit apalagi dengan sistem persinyalan yang sebenarnya sama kapabelnya karena menggunakan blok terbuka. Penumpang mungkin bisa sedikit bernapas lega dengan revisi yang meskipun dilakukan dengan bisa dibilang setengah hati, tetapi kalau GAPEKA tidak diatur ulang secepatnya untuk bisa mengoptimalisasi KRL bandara dan KRL Commuter Line, dijamin penumpang akan mengamuk lagi ketika GAPEKA kembali seperti awal.
Untuk Bekasi, memang dapat dimengerti rute Lingkar masih sedikit karena masih ujicoba, tetapi sebaiknya dioptimalisasi untuk meningkatkan efektivitasnya, apalagi Lingkar Timur terkenal dengan kosongnya jadwal KRL. Lalu pengaturan jadwal paginya harus diperhatikan agar tidak sampai jauh-jauh selisihnya.
Demikianlah yang bisa Tim REDaksi sampaikan. Semoga dapat dijadikan masukan konstruktif agar dampak kekacauan GAPEKA 2017 bisa dihilangkan dan bisa menjadi pelajaran berharga supaya bisa memberikan layanan angkutan yang lebih baik kepada penumpang dan di masa yang akan datang tak lagi terjadi yang seperti ini. Karena masalah GAPEKA bukanlah hal yang main-main karena menyangkut kemaslahatan orang banyak.
Tim REDaksi

Ikuti kami di WhatsApp dan Google News


One thought on “[OPINI] Grafik Perjalanan KRL 2017 Kacau, Ada Apa?

Tinggalkan komentar...

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

×