Cerita Kereta Cepat Era Soeharto

REDigest.web.id – Kereta Cepat menjadi salah satu proyek ambisius yang sudah direalisasikan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Melaju dengan kecepatan 350 km/jam, waktu tempuh dari Jakarta Bandung hanya memakan waktu kurang dari satu jam. Layanan moda transportasi baru ini juga menjadi primadona bagi masyarakat, menurut data yang dikeluarkan oleh PT KCIC, lebih dari 5,4 juta penumpang telah diangkut oleh kereta cepat.
Ide membangun kereta cepat sebenarnya sempat hadir di era Pemerintahan Soeharto. Tepatnya, ketika Indonesia memasuki Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) V dan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) tahap ke-II.
Mengutip Pengembangan Kereta Api di Indonesia Menyongsong Abad XXI terbitan Perumka tahun 1990, Perencanaan kereta cepat ini berangkat dari beberapa faktor yakni Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang sama dengan saat Jepang mengembangkan kereta cepat, kepadatan penduduk di pulau Jawa, dan pertumbuhan transportasi Indonesia yang mencapai lima persen per tahunnya.
Jalur kereta cepat ini pada tahap pertama akan menghubungkan Jakarta Surabaya melalui lintas utara Jawa. Kemudian, jalur akan diperpanjang hingga ke ujung barat dan timur Pulau Jawa (Merak dan Banyuwangi), lalu disambungkan hingga ke Pulau Sumatra menyusuri area pantai timurnya.
Trasenya menggunakan jalur baru dengan lebar jalur 1.435 mm. Kereta api akan digerakan dengan sistem listrik aliran atas menggunakan arus 25 kV AC 50 Hz. Kecepatan maksimum operasionalnya mencapai lebih dari 300 km/jam.

Pembangunan kereta cepat ini akan memakan waktu sekitar kurang lebih 15 tahun terhitung dari tahun 1991. Biayanya didapatkan dari APBN dan pinjaman luar negeri dengan nilai mencapai kurang lebih Rp 6 triliun (1990).
Pembangunan tahap pertama juga dibagi beberapa segmen. Pertama ada segmen Jakarta-Cirebon, dilanjutkan segmen Cirebon-Semarang, serta segmen Semarang-Surabaya. Di stasiun-stasiun yang dibangun, akan disediakan kereta kereta penumpang di jalur eksisting sebagai pengumpan dari kawasan Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Malang, Jember, hingga Banyuwangi.
Pengadaan sarananya disesuaikan dengan rencana jadwal perjalanannya yang setiap dua jam sekali. Dengan asumsi waktu perjalanan tiga jam, maka dibutuhkan sarana sebanyak enam trainset, dengan tambahan dua trainset untuk cadangan dan pemeliharaan.
Sarananya dipilih menggunakan model push-pull yakni lokomotif listrik disediakan di bagian depan dan belakang trainset. Alasan menggunakan model push-pull berkaitan dengan faktor ekonomis. Selain itu, sistem push-pull saat itu lebih banyak digunakan di berbagai belahan dunia, seperti pada TGV (Train à Grande Vitesse) Prancis, ICE (InterCity Express) Jerman, hingga ETR (Elettro Treno Rapido) di Italia.
Kabinnya dibuat streamline dengan dinding kedap udara. Ini agar kereta dapat beroperasi pada kecepatan tinggi dan efisien. Bogienya menggunakan bolsterless dengan suspensi sekunder dan peredam. Motor traksi dipasang full suspended. Untuk pengeremannya, menggunakan kombinasi rem cakram (disc brake) dengan rem regeneratif serta rem eddy current (elektromagnetik).
Sistem penggeraknya menggunakan motor AC 3 fasa asynchron dengan propulsi VVVF-GTO Thrisystor. Pantografnya menggunakan model Z (single arm).
Dengan kecepatan di atas 200 km/jam, maka faktor keselamatan menjadi sangat utama. Sistem Pengendalian dan Operasi (Sisdalop) akan menggunakan sistem terpusat dengan komputerisasi untuk meminimalisasi human error dalam pengoperasioannya. Selain itu, kereta cepat juga dilengkapi perangkat seperti Automatic Train Stop (ATS), Defect Diagnostic System, dan telekomunikasi radio.

Mengutip dari laman NTR Speciaal voor iedereen, pihak TGV (SNCF) dari Prancis sempat menawarkan proposal kereta cepat dan diundang ke Indonesia oleh Presiden Soeharto untuk melakukan studi jaringan perkeretaapian nasional. Setelah melakukan studi secara mendalam, TGV (SNCF) memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek dikarenakan kurang menguntungkan. Lebih dari 23 terowongan harus dibangun dan kondisi tanah yang kurang stabil menjadi alasannya.
Rencana ini pun memudar. Pemerintah Soeharto memilih melanjutkan proyek-proyek yang sudah diusulkan, seperti Rehabilitasi Jembatan Lintas Utara Jawa untuk mengakomodasi lokomotif besar seperti CC 201, Jalur Ganda Cikampek-Cirebon, Jalur Pintas Tanjungenim-Baturaja, Rehabilitasi Jembatan lintas Padalarang-Purwakarta, Angkutan Semen Indarung, Angkutan Semen Gresik, Angkutan Peti Kemas Pantai Utara Jawa, hingga pembangunan jalur kereta Api Nambo-Tanjung Priuk. (RED/rnovanto)
Sumber:
Perumka. 1990. Pengembangan Kereta Api di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Kantor Pusat, Bandung
Gerdajh. 2022. Traces Through Emerald. NTR, Belanda.