|
KA Babaranjang dengan traksi rangkap 4 yang terdiri dari 2 unit CC205 dan 2 unit CC202 (Ahmad Afif Mahdi) |
Isu perlawanan warga Bandar Lampung akan aktivitas KA Batu Bara Rangkaian Panjang (Yang dikenal sebagai Babaranjang) dengan rute Tanjung Enim-Tanjung Karang-Tarahan yang dioperasikan oleh PT KAI Divisi Regional 3 dan 4 bekerjasama dengan PT Bukit Asam (PTBA) tampaknya memang sedang memanas kembali. Seperti yang pada tanggal 20 September laluÂ
diberitakan oleh Republika, warga Bandar Lampung mengaku stres dengan aktivitas KA Babaranjang yang menurut mereka sudah merugikan, padahal bagi mereka operasional KA tersebut tidak memberikan kontribusi nyata bagi mereka.
Keluhan ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah petisi yang menyangkut keluhan warga, yaitu antara lain KA Babaranjang menimbulkan kemacetan parah, telah menimbulkan banyak kecelakaan sehingga menjadi monster pembunuh, dan menyebabkan masalah kesehatan, sehingga warga menolak keras aktivitas KA Babaranjang di Bandar Lampung seraya menuntut agar jalur Babaranjang direlokasi dan pengguna jalan yang terdampak kemudian dikompensasi.
Petisi ini pun bukanlah suatu hal yang baru. Pada April 2016,  DPD Lampung pun sudah  mengatakan bahwa KA Babaranjang adalah
harga mati untuk tidak melewati Bandar Lampung, tetapi memutari kota. Begitu juga pada Februari 2016 juga digagas diskusi bertajuk “Menggagas Angkutan Batu Bara, Menggusur Kereta Api Babaranjang dari Kota Bandarlampung” dengan tujuan diskusi tersebut adalah untuk merumuskan alternatif transportasi batu bara yang meskipun diakui memang vital tetapi dirasa
tidak memberikan benefit bagi Bandar Lampung dan memang selama beberapa tahun belakangan membuat kemacetan dan
juga menghasilkan alternatif berupa relokasi. Pada
tahun 2013 pun malah sudah ada berita di mana operasional KA ini menimbulkan kemactean, tapi belum ada diskusi yang dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa memang masalah yang ditimbulkan KA Babaranjang sudah sifatnya menahun dan perlu tindakan segera.Selain itu,
terdapat usulan lain selain relokasi untuk mengatasi polemik Babaranjang antara lain adalah membuat perlintasan tak sebidang dan memindahkan operasional KA Babaranjang ke malam hari.
Dari banyak pembahasan yang berulang-ulang mengenai polemik ini dengan segala pro kontranya, sebenarnya inti dari permasalahannya hanya satu: Mengurangi, atau sebisa mungkin menghilangkan dampak dari aktivitas KA Babaranjang dari wilayah Bandar Lampung.
Dari permasalahan di atas, ada beberapa poin yang berkaitan dengan operasional KA Babaranjang yang bisa dibahas, yaitu
1. Penolakan aktivitas Babaranjang
2. Permasalahan kemacetan dan kecelakaan KA vs kendaraan jalan raya
3. Permasalahan polusi udara KA Babaranjang
4. Relokasi jalur KA Babaranjang
5. Perubahan pola operasi KA Babaranjang
Mari saja kita bahas satu persatu…
1. Penolakan Aktivitas KA Babaranjang
Dari uraian di atas bisa dipahami bahwa permasalahan akan dampak KA Babaranjang telah bersifat menahun, dan memang dari rakyat sampai pemerintah pun sudah merasakan dampaknya dan menginginkan relokasi. Yang perlu diperhatikan adalah, permasalahan ini sudah terlalu berlarut dan amat sedikitnya tindakan sehingga tidak mengherankan orang-orang makin kesal, dan permintaan relokasi tersebut bukanlah suatu hal yang seenaknya, karena memang telah ada rencana mengenai hal ini sebelumnya. Tidak hanya relokasi, untuk mengatasi kemacetan pun memang sudah ada rencananya dengan membuat perlintasan tidak sebidang. Sayangnya, kembali lagi ke atas, tindak lanjutnya amat minim sekali, sehingga kekesalan warga memuncak.Meski demikian, mungkin karena kekesalan warga yang terus berlarut dan akibat dampak lain dari KA Babaranjang, maka warga kemudian sampai menyatakan penolakan terhadap aktivitas KA Babaranjang. Meski memang bisa dimengerti mengapanya, tetapi menurut Penulis hal ini adalah hal yang kurang bijak. Perlu diingat, operasional KA Babaranjang bersifat
vital karena fungsinya memasok batubara dari tambang di Tanjung Enim menuju PLTU Suralaya, yang menyuplai listrik di Pulau Jawa-Bali yang dapat dibayangkan akibatnya jika Babaranjang tidak dapat melintas. Sehingga meskipun dilakukan penolakan, tidak mungkin operasional KA Babaranjang dapat dihentikan.
Selain itu, jika kemudian aktivitas KA Babaranjang terpaksa diganti oleh truk jika memang dihentikan secara paksa, maka akan menimbulkan berbagai masalah baru. Selain kapasitas muat yang inferior (60 gerbong dalam satu rangkaian Super Babaranjang = 212Â truk!). Bayangkan saja Babaranjang dengan frekuensi sekitar 40 perjalanan sehari fungsinya harus digantikan oleh truk. Selain kemacetan yang dapat ditimbulkan karena berapa banyak truk yang harus melintas (Meskipun untuk Bandar Lampung truk barang dilarang masuk kota, tetapi ring road pasti akan menjadi penuh) serta polusi udara yang timbul, kerusakan pada jalanan termasuk jalan ring road yang menjadi jalur truk, yang tentu saja dampak merugikannya akan lebih luas, dan ujung-ujungnya, malah masalah akibat KA Babaranjang hanya berubah menjadi masalah akibat truk, tapi keluhannya sama atau malah lebih banyak. Pilih mana?
Oleh karenanya, meskipun memang petisi yang dilayangkan warga menekankan pada pihak terkait untuk segera melakukan penyelesaian terhadap masalah tersebut, tetapi melakukan penolakan terhadap KA Babaranjang apalagi jika sampai berfokus ke hal tersebut tetap saja kurang bijak.
2. Permasalahan kemacetan dan kecelakaan KA vs kendaraan jalan raya
|
Salah satu kecelakaan yang terjadi antara KA Babaranjang dengan kendaraan jalan raya (Saibumi) |
Tidak bisa dipungkiri, keadaan perlintasan Divisi Regional 4 (Yang dulu adalah bagian Divisi Regional 3) amat tidak ideal. Meskipun lintas ini mempunyai frekuensi KA yang paling sibuk di antara seluruh Divisi Regional PT KAI bersama dengan Divisi Regional 3, tetapi dengan banyaknya perlintasan sebidang dengan jarak pandang yang terbatas dan berat serta panjangnya rangkaian KA terutama Babaranjang membuat jarak pengereman menjadi amat jauh, risiko kecelakaan memang sudah sangat tinggi.Selain itu, karena panjangnya rangkaian ini pulalah kemacetan menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari ketika ada KA Babaranjang melintas. Dengan kecepatan terbatas dan panjang rangkaian sampai 60 gerbong, tentu saja waktu menunggu ketika KA ini akan melintas menjadi sangat lama. Dari kedua itu, wajar jika warga menjadi merasa terganggu.
Akan tetapi, karena Perkembangan ekonomi kota Bandarlampung yang pesat yang ditandai pertumbuhan jumlah kenadaraan pribadi yang tinggi, baik roda 2 maupun roda 4 dan juga arus kendaraan dari luar Bandarlampung yang memasuki kota untuk menjalankan aktivitas ekonomi di kota maka kemacetan bukan hanya terjadi di Perlintasan KA, namun juga terjadi di simpul-simpul persimpangan jalan seperti Tugu Adipura, pertigaan Jalan Teuku Umar-Urip Sumohardjo dan simpang tiga Universitas Lampung maupun kemacetan panjang di sepanjang Jalan Raden Intan dan Jalan R.A Kartini, terutama pada pagi dan sore hari (rush hour)Â dan juga weekend.
Selain itu, argumentasi bahwa KA Babaranjang merupakan monster dan pembunuh karena menimbulkan kecelakaan juga memiliki kelemahan karena kemudian hal ini menjadi bias. Jika mau rajin mencari berita, KA Limex Sriwijaya, Rajabasa, bahkan KRDI komuter seperti Seminung dan Way Umpu sebenarnya punya kisah tertabrak kendaraan jalan raya ataupun pejalan kaki masing-masing kok, dan kebanyakan kasus seperti ini kesalahannya bukan ada pada KA, tapi kenapa kemudian hanya Babaranjang yang disalahkan?
Hal ini juga sebenarnya sudah dibahas pada awal 2016 di mana direncanakan akan
dibuatkan underpass dan flyover tambahan pada perlintasan KA terutama di wilayah Bandar Lampung untuk mengurangi kemacetan dan risiko kecelakaan KA vs kendaraan jalan raya, yang dijadwalkan dibangun pada tahun 2016, dan banyak yang telah menyarankan demikian, namun pada rancangan versi Pemkot Bandar Lampung baru bisa merealisasikan pembangunnya pada tahun depan. Sejauh ini, baru beberapa ruas jalan seperti Jalinteng (Jalan Lintas Tengah) Sumatera saja yang sudah memiliki perlintasan tak sebidang, sementara sebagian jalan protokol lain masih berpotongan dengan rel KA secara sebidang dan masih menunggu rencana pembangunan perlintasan tak sebidang, yang
sudah saatnya disegerakan.
Selain itu, untuk jalan kecil di wilayah perkampungan harus dibuatkan jembatan penyeberangan dengan spasi jarak yang masuk akal, dan kemudian lintas disterilisasi, sehingga warga tidak ada lagi yang nekad menyeberang rel dengan alasan jembatan penyeberangan ataupun perlintasan tak sebidang terlalu jauh.Setelah petisi ini muncul, pemerintah merespon bahwa untuk mengatasi kemacetan,
underpassÂ
perlu 3 tahun dan lagi-lagi masalahnya juga kembali ke dana. Hal seperti pendanaan serta birokrasi memang harus dibereskan karena dalam pendanaan proyek seperti ini, rawan sekali ada permainan untuk kepentingan tertentu yang selain menimbulkan korupsi, bisa dibayangkan apa dampaknya jika struktur
underpass maupun
flyover dibuat tidak sesuai standar akibat permainan dana, kalau terjadi apa-apa ya jelas terjadi protes lagi. Seperti halnya kasus yang
pernah menimpa underpass Makamhaji di Solo yang karena kualitasnya jelek, justru kebanjiran sehingga bukannya membuat aman, malah makin tidak aman, dan membuat orang justru jengkel.
Meskipun memang terdapat opini yang mengatakan flyover bukan solusi untuk kemacetan, tetapi dalam konteks penghilangan perlintasan sebidang, pembangunan flyover serta underpass harus dilakukan. Tidak bisa dipungkiri, memang ada dampak negatif yang dapat timbul dari pembangunan flyover dan underpass, tetapi dapat dikalahkan dengan dampak positif arus kendaraan yang lebih lancar sehingga keluhan kemacetan akibat Babaranjang dapat diminimalisir, dan dapat menyelesaikan permasalahan kemacetan.
Oleh karenanya, meski memang solusi ini mungkin tidak menyelesaikan inti persoalan karena selama jalur tidak dipindah KA Babaranjang akan tetap lewat tengah kota, tetapi perubahan perlintasan dari sebidang menjadi tak sebidang dapat sangat membantu mengurangi dampak kemacetan dan risiko kecelakaan kendaraan darat dan pejalan kaki vs KA, selagi upaya lebih lanjut yang perlu waktu dan dana yang besar seperti relokasi jalur KA Babaranjang dilakukan. Tentu saja, proyek ini juga harus mempertimbangkan kemungkinan pembuatan jalur ganda yang bisa saja dilakukan di masa depan, mengingat sebagian lintas di Divisi Regional 3/4 sudah mulai dibuat jalur ganda. Yaitu dengan membuat agar struktur underpass maupun flyover dapat mengakomodir jika suatu saat rel di daerah kota Bandar Lampung jadi jalur ganda.Hal ini juga sesuai dengan UU 23/2007 tentang perkeretaapian pasal 91 ayat 1 yang mengatakan bahwa perpotongan jalan raya dengan rel KA dibuat tidak sebidang.
3. Permasalahan polusi udara KA Babaranjang
Lokomotif diesel, harus diakui memiliki kelemahan dalam hal polusi udara dan kebisingan. Mereka mempunyai suara mesin yang amat berisik dan terutama untuk lokomotif tipe lama seperti CC 201 dan 202 yang tidak punya sistem kendali aliran bahan bakar secanggih CC 204, 205, dan 206, polusi udaranya memang tidak bisa dibilang rendah.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa polusi udara oleh lokomotif hanya berasal pada satu titik yaitu lokomotifnya sendiri, dan rata-rata KA Babaranjang hanya ditarik dua atau tiga lokomotif, dibanding dengan banyaknya jumlah kendaraan jalan raya yang semuanya juga ikut mengeluarkan kepulan asap dan suara mesin dan jumlahnya akan jauh lebih banyak dari satu rangkaian KA. Tidakkah hal tersebut juga mengganggu?
Lagi-lagi, karena semua armada KA di wilayah Lampung juga bermesin diesel, menyalahkan Babaranjang saja juga tidak adil karena dari KRDI Seminung sampai KA Limex Sriwijaya juga mengeluarkan polusi udara dan suara dari mesin diesel kok…
Untuk masalah debu batu bara, hal itu memang merupakan kelemahan dari desain gerbong terbuka yang ada. Dan untuk menyelesaikannya adalah dengan menutup bagian atas gerbong terbuka pada Babaranjang ketika berdinas. Akan tetapi, dengan panjang rangkaian saja sampai 60 gerbong, apakah lantas akan efisien jika kemudian penutup gerbong harus dibuka satu-persatu ketika sampai Tarahan sebelum bongkar muatan? Membuat desain Gerbong Terbuka agar bisa ditutup akan sulit karena keterbatasan ruang dalam gerbong untuk memuat mekanisme penutupnya. Selain itu, pada kenyataannya di lapangan, batubara yang diangkut oleh KA Babaranjang minim menebarkan debu yang berlebih karena batubara yang diangkut mayoritas masih berupa bongkahan ukuran besar (pengalaman salah satu tim penulis yang tinggal di pinggir rel yang dilewati KA Babaranjang), sehingga hal demikan tidak terlalu berpengaruh. Teorinya, batubara akan menyebabkan polusi udara jika terjadi pembakaran yang hasil sisa pembakarannya  adalah debu, sehingga membuat gerbong yang bisa tertutup juga menjadi tidak perlu.
Kalau mau mengatasi masalah polusi akibat KA Babaranjang, memang solusi yang paling tepat adalah relokasi jalur, yang tentu memerlukan waktu, dan kemudian agar tidak ada keluhan serupa di masa yang akan datang setelah jalur KA Babaranjang dipindah kelak, perlu pengaturan rencana pembangunan agar tidak ada pemukiman yang jaraknya terlalu dekat dengan jalur baru KA Babaranjang dengan radius tertentu. Oleh karenanya, selain penghilangan perlintasan sebidang yang telah dibahas di atas, relokasi yang akan dibahas selanjutnya juga sudah harus segera dimulai, karena rencananya saja sudah lama ada.
Mengapa kemudian Penulis tidak mengajukan opini berupa elektrifikasi lintas? Memang dengan elektrifikasi lintas KA Babaranjang, maka polusi udara akibat lokomotif akan tiada, akan tetapi, rencana ini di lintas Sumatera Selatan menurut Penulis kurang feasible karena fasilitas penunjang utama untuk elektrifikasi lintas kurang memadai. Selain itu, elektrifikasi lintas membutuhkan investasi yang sangat tinggi dan tingkat efisiensi pemakaian lintas yang dielektrifikasikan dalam jangka panjang akan sangat menurun. Memang cadangan batubara yang terkadung di bumi Sriwijaya kalau ditambang besar-besaran akan habis dalam waktu 200 tahun, namun kita tidak tahu keadaan komoditas energi dunia yang lagi tidak bergairah harganya saat ini.
4. Relokasi jalur KA Babaranjang
Meskipun berbagai tuntutan dari berbagai sumber yang berbeda memiliki poin-poin yang berbeda, tetapi kesemuanya punya satu poin yang sama, yaitu relokasi jalur KA Babaranjang. Hal ini bertujuan agar KA Babaranjang nantinya tidak lagi melewati Bandar Lampung, tetapi memutar melalui pinggir kota sehingga dampak akibat operasional KA ini pada masyarakat dapat diminimalisir.
Poin ini sebenarnya
telah direncanakan oleh pihak Kementrian Perhubungan sejak tahun 2011, di mana
shortcut ini direncanakan akan dibangun antara 2011-2015 hingga 2020, sehingga tidak bisa dikatakan seenaknya.
|
Cuplikan dari rencana perkeretaapian oleh pihak Kemenhub pada tahun 2011 dengan rencana jalur baru Rejosari-Tarahan di-highlight merah. Akan tetapi tampaknya jadwalnya sudah tidak up to date, tampak dari rencana jalur ganda Cirebon-Semarang dan Semarang-Surabaya yang sudah lama selesai pada tahun 2012 lalu, sedangkan dalam perencanaan berangsur sampai sekitar 2018 (Kementrian Perhubungan RI) |
Berhubung ketiadaan material resmi mengenai rute yang akan dipilih untuk membuat trase jalur baru Rejosari-Tarahan, Penulis membuat perkiraan rute yang bisa saja dipilih untuk membuat trase baru jalur khusus KA Babaranjang
|
Perkiraan trase baru untuk KA Babaranjang Rejosari-Tarahan yang mungkin dipilih (kiri) serta trase yang sekarang digunakan oleh lalu lintas KA Babaranjang (kanan) (Perhitungan jarak oleh penulis, citra satelit hak cipta CNES) |
Dari gambar di atas, tampak perbedaan jarak yang tidak terlalu signifikan. Akan tetapi, suatu hal yang harus dikaji adalah, di wilayah sekitar Tarahan terdapat perbukitan yang harus diatasi tanpa menimbulkan masalah baru ketika akan membuat jalur baru untuk KA Babaranjang. Oleh karenanya, memang diperlukan perencanaan matang dalam pembangunannya.
Penulis sangat setuju dengan relokasi jalur KA Babaranjang yang diinginkan masyarakat Bandar Lampung dengan beberapa alasan:
Pertama, pemindahan jalur KA Babaranjang akan menghilangkan segala dampak dari aktivitas KA Babaranjang, dengan syarat ada pengaturan pengembangan sehingga pemukiman dan pusat aktivitas warga tidak mepet dengan jalur baru khusus KA Babaranjang, sehingga tidak ada masalah yang sekarang ada timbul di kemudian hari.
Kedua, pemindahan jalur KA Babaranjang akan memperlancar lalu-lintas KA penumpang di wilayah Bandar Lampung sendiri, karena kemudian jalur KA penumpang yang akan memanfaatkan trase asli yang sekarang ada antara Rejosari-Tanjungkarang, tidak harus berebut jalur dengan KA Babaranjang yang jalurnya telah dipindahkan, terlebih di masa datang ketika jalur KA lintas Sumatera akan dibuat jalur ganda, maka dampak positifnya akan makin terasa. Sementara itu lintas Tanjungkarang-Sukamenanti-Tarahan masih dapat dipakai untuk kirim lokomotif ke/dari depo.
Tentu saja, jalur lama juga harus tetap dapat dipakai KA Babaranjang jika sewaktu-waktu ada rintang jalan di jalur baru.
Sayang sekali, selain tidak ada kejelasan lebih lanjut mengenai jalur baru ini, padahal melihat perkembangan isu yang ada, tampaknya rencana ini harus segera dikaji lebih lanjut karena meningkatnya tuntutan dari masyarakat untuk perubahan aktivitas KA Babaranjang.
Tentu saja, jalur baru ini wajib untuk secara 100% tidak ada perlintasan sebidang, apapun caranya, baik dengan flyover maupun underpass. Kalau tidak, maka masalah kemacetan akibat Babaranjang hanya akan berpindah tempat, bukannya selesai.
Akan tetapi, Penulis tidak sepakat dengan pendapat yang menginginkan
seluruh aktivitas KA dipindahkan dari Bandar Lampung menuju luar kota. Seperti diketahui, letak Stasiun Tanjung Karang adalah di tengah kota, dan salah satu keunggulan transportasi KA adalah ketika jalurnya direncanakan secara strategis, maka akan lebih efisien mencapai pusat kota dibanding moda transportasi lainnya. Jika jalur KA lantas benar-benar dipindah dari Bandar Lampung dengan Stasiun Tanjung Karang digeser ke tempat di luar kota, maka mobilitas akan menjadi tidak seoptimal dulu karena jarak stasiun ke kota menjadi jauh. Selain itu juga, pengguna KA yang menggunakan stasiun Tanjung Karang bukan hanya terbatas pada warga Bandar Lampung saja, namun tersebar di sekitar kota Bandarlampung, seperti Pesawaran, Pringsewu, bahkan sampai ke daerah Kalianda. Selain warga sekitar Bandarlampung, pengguna KA juga berasal dari para penumpang angkutan antar-moda Damri dari Jabodetabek dan Bandung maupun penumpang yang menggunakan jasa
travel dari Pelabuhan Bakauheni maupun sebaliknya, penumpang KA yang sampai stasiun Tanjung Karang melanjutkan perjalannya baik menggunakan Bis Damri maupun
travel ke berbagai tujuan.Selain itu, dengan memindahkan seluruh aktivitas KA dari Bandar Lampung ke luar kota dan bekas relnya kemudian
dipakai untuk jalan raya baru dengan tujuan mengurai kemacetan di ruas jalan raya ZA Pagar Alam-Teuku Umar-Tanjung Karang, justru hal itu dapat mengundang permasalahan baru karena pada suatu saat jika jalan itu benar-benar direalisasikan akan menimbulkan kemacetan-kemacetan baru serta polusi udara yang justru lebih parah dari yang ditimbulkan oleh aktivitas KA pada masa mendatang, lagipula tanah yang dimiliki PT KAI (meskipun relnya sudah tidak ada pun masih akan jadi milik PT KAI) juga merupakan milik negara, jadi perlu persetujuan dari Pemerintah Pusat dan itu juga memakan waktu yang cukup lama dalam prosesnya, belum hal-hal yang lainnya.
5. Perubahan pola operasi KA Babaranjang
Seperti yang
diutarakan dalam artikel ini, terdapat salah satu pilihan sementara selagi masalah tersebut ditangani yaitu jadwal KA Babaranjang bisa digeser ke malam hari sebagai solusi yang dianggap paling mudah untuk mengatasi masalah kemacetan akibat KA Babaranjang selagi menanti peningkatan dan relokasi lintas yang telah dijabarkan pada poin 3 dan 4
Pada sisi warga Bandarlampung pada umumnya ini adalah solusi sementara yang terbaik untuk mengatasi kemacetan di perlintasan sebidang. Akan tetapi di sisi perusahaan (baik PT.KAI dan PT.BA) perubahan ini akan menyusahkan mereka, karena pembongkaran batubara pada satu rangkaian KA Babaranjang memerlukan waktu minimal 1 jam. Jika dilihat dari fasilitas yang ada di Tarahan [ada 4 Sepur Bongkar di areal PT.BA dengan sistem RCD (Rotary Coal Dumper; Pembongkar Berputar Batubara) dan jumlah sepur simpan di Tarahan ada 4] dan jumlah perjalanan KA sebanyak 18 trip per hari, maka perubahan pola operasi ini akan berdampak pada tumpukan antrean KA Babaranjang yang mengantre untuk bongkar muatan yang mengakibatkan antrean KA Babaranjang di lintas terutama pada Kota Bandar Lampung. Jika antrean tersebut terjadi sampai jam sibuk orang perkotaan pada pagi hari maka perubahan operasi ini akan sangat sia-sia dilakukan. Toh KA Babaranjang masih mesti jalan pada pagi hari.Terlebih pada malam hari, terdapat banyak KA penumpang jarak jauh yang beroperasi, yang tentu saja selain menambah kesulitan bagi perusahaan, juga akan membuat menderita penumpang KA jarak jauh, apalagi dengan keadaan jalur tunggal di sebagian besar lintas Sumatera Selatan dan Lampung, antrean KA jarak jauh maupun Babaranjang akan makin banyak, semua perjalanan akan makin terlambat pula. Sementara jika memindahkan perjalanan KA jarak jauh ke waktu siang agar malamnya hanya diisi Babaranjang, waktunya akan menjadi tidak strategis.
Dari segi protokoler pun, penyusunan ulang jadwal KA harus dilakukan dengan persetujuan kantor pusat dan Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang memerlukan banyak perhitungan, sehingga solusi ini meskipun memang sementara dan tampak dapat membantu akan jadi sangat sulit tanpa menimbulkan permasalahan baru apalagi kalau sampai ada antrean KA yang ujung-ujungnya membuat aktivitas KA Babaranjang tetap ada pada jam sibuk sebagai dampak antrean.
Kesimpulan
Dari poin-poin di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa keluhan-keluhan masyarakat tersebut memang valid, tetapi terkadang ada yang disampaikan dengan argumentasi yang disampaikan secara berlebihan seperti misal menganggap suatu KA merupakan monster pembunuh ataupun hanya menyalahkan Babaranjang melulu, tetapi keluhan soal kemacetan dan keinginan agar operasi KA Babaranjang dipindah sudah dilayangkan berulang-ulang dari berbagai golongan, artinya itu persoalan memang sifatnya menahun dan valid. Jangan sampai menunggu protes yang melibatkan perusakan baru kemudian tindakan dilakukan!Sehingga, pemangku kepentingan harus segera bergerak untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada pada proyek peningkatan jalur rel yang ada terutama untuk menghilangkan perlintasan sebidang terutama pada wilayah yang rawan macet ketika ada KA melintas, dan juga untuk meneruskan kembali rencana pembuatan jalur baru Rejosari-Tarahan agar aktivitas KA Babaranjang tidak lagi harus memotong Bandar Lampung, terutama seperti dana dan birokrasi dan ijin pembebasan lahan. Dan dalam pelaksanaan proyek-proyek strategis bernilai tinggi seperti ini tentu saja rawan kepentingan-kepentingan dari pihak lain, sehingga jangan sampai pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tergoyahkan oleh pihak-pihak lain yang punya kepentingan tertentu yang dapat menghambat penyelesaian masalah akibat operasional KA Babaranjang.
Yah, semoga saja polemik panjang Babaranjang akan segera terselesaikan… Terlambat, boleh jadi, tetapi daripada tidak ada usaha sama sekali?
Sumber:
Haluan Lampung
Jejamo
Kementrian Perhubungan
Majalah KA Edisi 72, Juli 2012
Saibumi
Saburai
Solopos
Teras Lampung
Tribun Lampung
RE Digest | Ikko Haidar Farozy | Ahmad Afif Mahdi
lucu, yang dulu bermukim dan mendirikan kota disekitar jalur KA divre 4 siapa, dan yang harus pindah siapa, padahal jalur KA sudah ada sejak jaman belanda. jika anda tahu maksud saya
Nama nya juga org indonesia :v
itu org minta kode pngen dpt duit :v
sblm mereka lahir Kereta jga ada dri jaman jebot ..
masalah bising ya nama nya mesin loko kan besar .
dari pada angkutan babaranjang d hapus dn pindah ke truck malah bikin macet lah dn polusi lbih bnyk ..
…tidak ada kontribusi…
…kompensasi…
…tidak ada benefit…
pemda selalu terkendala dana ��
gak bisa kerja tanpa budget..
fasilitas gak diupgrade sementara perkembangan kota terus terjadi..
ujung2nya duit ini siih..