Bagaimana Burung Raja Udang Merevolusi Shinkansen?
Shinkansen. Kereta cepat ini sudah menjadi simbol teknologi dan modernitas Negeri Sakura. Rekayasa keteknikan guna mencapai kecepatan yang tinggi tanpa menghilangkan kenyamanan perjalanan menjadi batu loncatan yang besar bagi dunia keteknikan kereta api.
Dari Shinkansen Seri 0 (nol) sampai yang terbaru Shinkansen Alfa-X, para insinyur dan teknisi terus berinovasi untuk menciptakan Shinkansen yang cepat, aman, dan nyaman serta siap untuk bersaing di pasar kereta api global. Pada awalnya bentuk hidung Shinkansen didesain seperti pesawat terbang
Shinkansen pertama yakni Shinkansen seri 0 yang beroperasi pada tahun 1964 memiliki desain hidung seperti pesawat terbang. Desain hidung pesawat pada Shinkansen seri 0 dirancang oleh seorang desainer pesawat terbang era Perang Dunia II.
Digunakannya desain hidung pesawat ini adalah untuk mengurangi hambatan angin supaya kereta dapat melaju dengan kecepatan tinggi. Desain hidung pesawat terbang ala Shinkansen seri 0 terus dipertahankan pada generasi Shinkansen selanjutnya seperti Shinkansen seri 100 dan Shinkansen seri 200.
Desain ini memang bisa membuat kereta melaju dengan kecepatan tinggi tanpa hambatan, namun desain ini memiliki satu masalah yang cukup besar. Ketika kereta melintas di terowongan, di ujung keluar terowongan selalu muncul suara seperti ledakan yang sangat kencang. Suara ini disebabkan oleh udara yang berada di dalam terowongan terdorong keluar terowongan ketika kereta melintas. Alih-alih membelah udara di dalam terowongan, desain hidung kereta yang seperti pesawat justru mendorong paksa udara keluar terowongan sama seperti kita mendorong udara dari dalam suntikan.
Udara yang keluar dari terowongan kemudian menciptakan gelombang suara yang terdengar seperti suara ledakan yang keras. Suara ini tentunya mengganggu baik untuk penumpang, warga sekitar, atau bahkan hewan liar yang hidup di sekitar terowongan. Selain itu, udara yang terdorong di dalam terowongan ini juga menghambat laju kereta seperti ketika kita berjalan di dalam air.
Para insinyur dan teknisi kemudian berusaha mencari solusi mengatasi permasalahan ini. Dan solusinya pun datang dari alam yakni burung raja udang atau sebagian dari kita biasa menyebutnya burung tengkek udang.
Burung yang hidup di daerah Asia, Afrika, dan Australia ini berburu dengan cara menceburkan dirinya ke dalam air kemudian terbang kembali setelah menangkap mangsanya. Alih-alih mendorong dan menghantam air, bentuk paruhnya yang aerodinamis membelah air sehingga ia bisa masuk ke air dengan mudah dan mencegahnya mengalami luka yang serius. Para teknisi melihat cara burung raja udang berburu sama seperti ketika Shinkansen memasuki terowongan.
Para insinyur dan teknisi kemudian mempelajari struktur dari paruh burung raja udang dan menemukan bentuk dua segitiga yang bertumpukan dan dikelilingi oleh lingkaran. Bentuk itu kemudian ditekan sehingga berbentuk seperti berlian. Para insinyur dan teknisi kemudian mereplikasi bentuk paruh untuk digunakan pada Shinkansen. Para teknisi kemudian menerapkan bentuk paruh burung raja udang pada rangkaian purwarupa Shinkansen WIN350 pada tahun 1992.
Dan hasilnya sangat memuaskan. Dalam uji coba yang dilakukan didapatkan hasil rangkaian Shinkansen WIN350 yang mengadaptasi bentuk paruh burung raja udang memiliki hambatan angin 30 persen lebih rendah dari desain ala pesawat yang otomatis menghilangkan suara ledakan ketika kereta melintas di terowongan.
Selain itu, Shinkansen dengan desain paruh burung raja udang lebih bertenaga, lebih nyaman, dan lebih hening dibandingkan dengan desain hidung pesawat terbang. Desain paruh raja udang ini kemudian diterapkan pada rangkaian Shinkansen seri 500 yang pertama kali beroperasi pada tahun 1997. Desain paruh burung raja udang ini terus dikembangkan pada generasi Shinkansen selanjutnya untuk menciptakan Shinkansen yang lebih cepat, lebih hening, dan lebih nyaman dari sebelumnya.
(RED/BTS)