[Fiksi Bersambung] Sepenggal Surat di Ujung Rel – Part 2
Sepenggal Surat di Ujung Rel – Part 2
Langit senja dan keramaian jalan raya menyambut kedatangan Rian di Kota Bekasi. Sudah cukup lama ia tidak mengunjungi kota ini, kira-kira 6 bulan lamanya. Belum pernah ada maksud lain ke sini, kecuali untuk bertemu sahabatnya. Begitu pula hari ini.
Sekitar 15 menit berjalan kaki dari stasiun, Rian tiba di sebuah lapangan. Lapangan tanah yang kerap digunakan anak-anak untuk bermain. Di tepiannya terdapat warung yang cukup besar. Warung yang selalu tenang dan nyaman setiap Rian datang, kecuali hari ini.
“Anak mana lu?” tanya seorang pemuda kepada Rian yang baru saja duduk di bangku warung.
“Maksudnya, mas?” tanya Rian kebingungan.
“Lu dari mana?” kata pemuda itu memperjelas.
“Dari stasiun,” jawab Rian singkat.
“Oh lu anak stasiun? Anak mana lu?”
“Saya anak orang tua saya mas, bukan anak stasiun..”
“Ngajak ribut ni anak.. Maksud gua, lu yang biasa nongkrong di stasiun?” si pemuda tampak kesal.
“Saya dari Surabaya mas, baru aja sampe..”
Pemuda berpakaian serba gelap itu meninggikan nada bicaranya. Tatapan matanya terlihat tajam. Tidak lama kemudian, teman-temannya datang mendekat. Beberapa di antaranya tampak mengenakan celana seragam SMA. Raut wajah Rian berubah, rasa takut mulai menghampirinya.
“Ngapain lu di sini?”
“Mau ketemu temen, mas..” jawab Rian perlahan.
Siapa temen lu?”
“Temen saya Webe..”
“Webe siapa?! Jawab yang bener! Gak ada nama orang aneh kayak gitu!” bentak pemuda itu sambil menarik jaket yang dikenakan Rian.
“Ma, maaf mas.. Maksudku iku..”
Tiba-tiba datang dua orang pemuda berboncengan motor. Pemuda yang dibonceng turun dari motor dan membuka helmnya. Semua yang ada di warung itu berdiri tegap menghadap si pemuda yang baru datang.
“Cakra Wirayudha! Lu harus belajar nyebut nama gua yang bener!” sahut pemuda itu sambil melihat ke arah Rian.
“Akhire dateng juga! Kayaknya kita perlu pindah tempat, Be..” kata Rian.
“Eh? Kenapa lu keliatan takut gitu?” tanya Cakra heran.
“Maaf bos, bos kenal sama orang ini?” tanya salah satu pemuda yang ada di warung.
“Lah, dia temen gua dari Surabaya. Namanya Rian, gua udah janjian mau ngobrol sama dia di sini..”
Para pemuda yang berkumpul di warung saling memandang satu sama lain. Mereka mematung dan membisu, membuat Rian dan Cakra bertanya-tanya.
“Woy! Kalian kenapa?!”
“A, ah.. Gak apa-apa kok bos.. Mau kopi bos? Bang Rian mau juga?” sahut pemuda yang tadi menanyai Rian.
“Kenapa lu nawarin kopi sambil panik gitu?” tanya Cakra.
“Gak apa-apa, cuma ga enak badan aja bos..”
“Huh, tadi aja nanya macem-macem, bentak-bentak, sampe narik jaket aku. Lha kok saiki malah nawari kopi..” kata Rian kesal.
Cakra tersedak, “Apa?! Kalian mau sok jagoan di sini? Ini warung umum, semua orang boleh duduk, ngopi disini!”
“Maaf bos.. Kita kan katanya mau rapat paripurna, kan gak mungkin ada orang lain nguping..”
“Iya gua tau, kan bisa sambil gua ngobrol sama Rian..”
Rian menarik lengan Cakra dan berbisik, “Be, kamu iki mikir opo sih? Mosok kita ngomongin kertas misterius itu di tempat rame bareng mereka rapat?”
Cakra berbisik di telinga Rian yang satunya, “Terus maunya dimana?”
“Udah, kita bahas di tempat lain aja!” bisik Rian sambil menarik Cakra menjauh dari warung.
~ Bersambung
Cerita sebelumnya: Sepenggal Surat di Ujung Rel – Part 1
Cerita selanjutnya: Sepenggal Surat di Ujung Rel – Part 3