Berita KAIndonesiaKAI CommuterKereta Api

Kemenhub Wacanakan “Subsidi Tepat Sasaran”, Tuai Berbagai Reaksi

Ilustrasi: KRL Commuter Line di Stasiun Manggarai. Wacana penerapan tarif nonsubsidi untuk golongan yang dianggap mampu telah bergulir sejak akhir 2022. | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

REDigest.web.id, 5/1 – Sudah seminggu lalu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan wacana pembedaan tarif KRL. Melansir dari Jawapos, pada 29 Desember silam Juru Bicara Kemenhub Aida Irawati memastikan tarif KRL tidak naik. Akan tetapi, Kemenhub membuka opsi penyesuaian PSO (subsidi) agar “tepat sasaran”.

Dalam wacana yang bergulir, dalam wacana “subsidi tepat sasaran” ini tarif subsidi akan tidak berlaku bagi kalangan mampu. Adita sendiri mengatakan skema ini masih dalam kajian Kemenhub. Sedangkan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (Dirjen KA) Risal Wasal menargetkan pemberlakuan pola ini mulai kuartal II 2023 mendatang.

Melansir dari Kontan, Budi Karya Sumadi mengatakan tarif KRL sejatinya adalah sekitar Rp10.000 hingga Rp15.000 per orang. Menurutnya, kenaikan biaya operasi KRL tanpa kenaikan tarif akan menyebabkan pembengkakan subsidi yang dapat membebani APBN. Oleh karenanya muncullah wacana untuk subsidi “tepat sasaran” dengan menghilangkan tarif subsidi bagi yang dianggap mampu.

Tanggapan Kontra

Ilustrasi: KRL Commuter Line dan KRL Bandara di Stasiun BNI City. Isu stratifikasi layanan menjadi hangat dengan wacana pemisahan tarif. | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

Tentu saja wacana ini membuahkan banyak tanggapan kontra terhadap rencana “subsidi tepat sasaran” ini. Dari penelusuran Tim REDaksi di media sosial, banyak tanggapan yang mempertanyakan wacana ini. Menurut mereka, rencana pemisahan tarif antara “si kaya dan si miskin” ini tidak tepat.

Mereka berpendapat justru subsidi ini diperlukan agar masyarakat mampu beralih dari kendaraan pribadi ke KRL. Tidak hanya itu, beberapa kalangan juga berpendapat jika harus membayar tarif KRL tanpa subsidi, biaya bermotor menurut mereka lebih murah. Selain itu, pembedaan tarif ini menurut para warganet akan menimbulkan stratifikasi sosial. Terlebih jika jenis KRL yang kena tarif subsidi dan nonsubsidi adalah sama.

Tidak hanya itu, di media sosial juga banyak tudingan kalau subsidi KRL ini dikorbankan demi subsidi mobil listrik. Tim REDaksi mendapat cukup banyak dugaan ini dari warganet dengan kata kunci “Subsidi KRL mobil listrik“.

Bahkan KRL-Mania menyerukan Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja Menteri Perhubungan (Menhub). Melansir dari Media Indonesia, KRL-Mania berpendapat pengguna KRL dan angkutan umum massal lainnya sebenarnya adalah pahlawan transportasi, anggaran, dan iklim. Mereka juga berpendapat seharusnya Menteri Perhubungan mengalihkan subsidi dan kompensasi BBM.

Jika tidak, mereka mengatakan Presiden dapat mempertimbangkan Menhub dengan sosok yang dengan sosok yang lebih memiliki keberpihakan terhadap transportasi massal, APBN, dan iklim.

Tanggapan Pro

Ilustrasi: KRL Commuter Line tujuan Bekasi di Stasiun Manggarai. Beberapa komunitas mendukung adanya rencana “subsidi tepat sasaran” dengan beberapa alasan. | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

Sementara itu, tanggapan pro muncul dari sejumlah komunitas pengguna KRL juga. Dalam utas Twitter mereka, pernyataan dukungan mereka muncul dalam kesempatan yang sama untuk mendukung perbaikan lift dan eskalator stasiun.

Dalam utas tersebut, Beberapa komunitas pengguna KRL, seperti Jalur Bekasi (JB), Jalur Serpong, Jalur Nambo, Jalur Depok Bogor, dan Anker Twitter. Mereka mendorong DJKA untuk memperbaiki prasaran yang rusak di stasiun-stasiun. Terdapat 7.691 dukungan petisi dari publik yang terkumpul di laman Change.org.

Selain itu, mereka juga mendukung “subsidi tepat sasaran”. Mereka menyampaikan niat baik “subsidi tepat sasaran” adalah subsidi silang tarif antara penumpang berkemampuan dengan yang berkemampuan terbatas. Mereka menambahkan kebijakan ini masih dalam kajian DJKA agar data setiap pengguna aktual.

Utas ini pun ditutup dengan keyakinan para publik akan mendukung “subsidi tepat sasaran” dan merasakan manfaatnya.

Perbandingan Biaya dan Waktu oleh Rekan Tim REDaksi

Ilustrasi: KRL Commuter Line Lin Cikarang di Jatinegara | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

Saat Tim REDaksi tanyakan salah satu rekan Tim REDaksi yang berdomisili di wilayah Bekasi, ia berkenan untuk memberikan gambaran perbandingan biaya. Dalam aktivitas bekerjanya, terkadang ia menglaju dari Bekasi Timur menuju Gunung Sahari menggunakan motor. Sedang dalam kesempatan lain, ia menglaju pada rute yang sama dengan motor dan KRL.

Biaya Perjalanan

Jika ia menggunakan motor dengan bahan bakar Shell Super, maka ia hanya butuh Rp16.000 untuk pulang-pergi dalam sehari. Sementara jarak dari kediamannya di Bekasi Timur menuju tempat kerjanya di Gunung Sahari adalah 32 km. Biaya ini adalah biaya bahan bakar yang ia butuhkan untuk perjalanan pulang-pergi.

Sementara jika ia menggunakan KRL dan motor, maka ia butuh Rp23.500 untuk pulang-pergi dalam sehari. Rinciannya adalah, ia butuh biaya Rp6.000 untuk bahan bakar pulang-pergi, Rp6.000 untuk KRL pulang-pergi, Rp 5.500 untuk bus TransJakarta pulang-pergi (Catatan: Bus TransJakarta sebelum pukul 07.00 menerapkan tarif Rp2.000 – Tim REDaksi), dan Rp6.000 untuk parkir motor.

Seandainya KRL menjadi tidak disubsidi, dengan tiada detail saat ini dari Kemenhub maka Tim REDaksi berasumsi Rp10.000-15.000 untuk tarif terdekat. Jika biaya ini berlaku, maka biaya pulang-pergi akan menjadi Rp20.000 hingga Rp30.000.

Akibatnya, biaya untuk pulang pergi akan membengkak menjadi Rp37.500 hingga Rp47.500.

Waktu Perjalanan

Untuk waktu perjalanan, rekan Tim REDaksi menerangkan bahwa perjalanan menggunakan motor cenderung lebih cepat dengan kondisi lalu lintas normal di hari kerja berbanding dengan transportasi umum dalam kondisi yang sama.

Waktu tempuh saat berangkat menggunakan motor berkisar antara 60-75 menit sedangkan dengan transportasi umum berkisar antara 90-105 menit. Hal yang sama juga terjadi pada saat pulang kerja dimana jika menggunakan motor, waktu tempuh yang diperlukan berkisar antara 90-120 menit tergantung pada tingkat kemacetan. Seedangkan dengan transportasi umum butuh waktu tempuh sekitar 105-120 menit. (RED/IHF)

Ikuti kami di WhatsApp dan Google News


Tinggalkan komentar...

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses