‘Short Escape’ Bersama Sang Legenda dari Timur: KA Mutiara Timur

REDigest.web.id – Kereta Api Mutiara Timur merupakan salah satu kereta api legendaris di lintas Surabaya-Banyuwangi yang akhir-akhir ini mulai beroperasi reguler di salah satu perjalanannya (Surabaya Pasarturi-Ketapang PP) dan perjalanan lainnya berjalan saat akhir pekan (Ketapang-Surabaya Gubeng PP).
Kereta Api Mutiara Timur adalah salah satu dari dua kereta “Mutiara” yang masih beroperasi saat ini, bersama dengan KA Mutiara Selatan yang melayani relasi Surabaya Gubeng-Bandung PP. Sayangnya, pamor KA Mutiara Timur mulai meredup sejak tahun 2021, ketika rutenya diperpanjang hingga Stasiun Yogyakarta. Redupnya pamor kereta ini ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti harga tiket yang kurang bersaing dan jadwal perjalanan yang dianggap kurang sesuai bagi pelanggan setianya di lintas Surabaya-Banyuwangi. Kondisi tersebut diperburuk dengan hadirnya KA Blambangan Ekspres yang pada awal pengoperasiannya menggunakan rangkaian milik Mutiara Timur, semakin mengikis eksistensi kereta ini.
Penulis, dalam perjalanan short escape-nya edisi pertama ini, ingin mencoba kereta legendaris ini dengan tarif khusus relasi Surabaya Gubeng-Probolinggo PP dan harganya tergolong murah, yakni Rp45.000 untuk kelas ekonomi dan Rp55.000 untuk kelas Eksekutif. Bagaimana rasanya? Simak liputan singkat berikut!
Pendahuluan: Memahami Tarif Khusus
PT KAI menawarkan tarif khusus bagi penumpang yang membeli tiket kereta api dua jam sebelum keberangkatan pada rute pendek dan menengah tertentu, contohnya adalah rute Surabaya-Probolinggo pada beberapa kereta tertentu. Bagi pembaca yang ingin memanfaatkan tarif khusus untuk kereta yang melewati Daop 9 Jember, informasi lebih lanjut dapat dilihat pada kiriman di bawah ini.
View this post on Instagram
Sedangkan rute selain Surabaya-Probolinggo terdapat pilihan lain rute dan kereta api, semisal Surabaya Gubeng-Jombang/Madiun, Surabaya Pasarturi-Semarang Tawang Bank Jateng atau Yogyakarta-Solo, yang tersedia tarif khususnya, bisa dicek pada link berikut.
Penting untuk diingat bahwa tarif khusus hanya berlaku untuk kursi kosong / idle seat yang tersedia pada hari keberangkatan, yaitu dua jam sebelum jadwal kereta. Oleh karena itu, tidak disarankan bagi pembaca untuk mengandalkan tarif khusus pada hari libur nasional, perayaan besar seperti Idulfitri, Natal dan Tahun Baru, atau acara besar lainnya.
Sering terjadi kesalahpahaman antara tarif khusus dan sistem “goshow“. Perbedaannya terletak pada waktu dan mekanisme pembelian tiket. Tiket tarif khusus merujuk pada pembelian tiket dengan harga diskon untuk kereta dan rute tertentu melalui aplikasi Access by KAI dua jam sebelum perjalanan dan di loket stasiun. Sebaliknya, tiket Goshow adalah pembelian tiket langsung di loket dengan tarif normal untuk semua rute yang ada tiga jam sebelum keberangkatan. Sebagai informasi tambahan, baik pemesanan tiket tarif khusus dan goshow dijual selama kursi masih tersedia
Sebagai contoh kasus di perjalanan ini, Kereta Api Mutiara Timur yang ingin Penulis naiki berangkat dari Stasiun Surabaya Pasarturi pukul 08.55 WIB dan Penulis melakukan pembelian di aplikasi Access by KAI mulai pukul 06.55 WIB untuk melakukan proses pembelian. Begitu juga sebaliknya, Kereta Api Mutiara Timur berangkat dari Stasiun Probolinggo pukul 12.50 WIB, dan Penulis melakukan proses pembelian di pukul 10.50. Mudah bukan?
Perjalanan Mutiara Timur #1 : Surabaya-Probolinggo
Sesampainya di Stasiun Surabaya Gubeng Baru pada pukul 08.45 WIB, Penulis langsung melakukan proses check-in di salah satu mesin pencetak tiket. Suasana di Stasiun Surabaya Gubeng banyak sekali ornamen merah khas Imlek, mengingat beberapa waktu ke depan terdapat libur panjang perayaan Imlek. Penulis memilih naik dari Stasiun Surabaya Gubeng untuk kemudahan akses dari rumah dan jika dibandingkan dengan Stasiun Surabaya Pasarturi itu sendiri akan lebih jauh dan membutuhkan spare time waktu lebih awal lagi.
Setelah menunggu beberapa saat, kereta api Mutiara Timur tiba sedikit terlambat lima menit dari jadwal yang seharusnya tiba 09.10 WIB di jalur 6 Stasiun Surabaya Gubeng. Para petugas selalu mengingatkan tentang posisi kereta eksekutif dan kelas ekonomi new generation modifikasi kepada penumpang melalui toa speaker portable yang selalu dipegang. Lalu pada pukul 09.20, Mutiara Timur diberangkatkan kembali dari jalur 6 Stasiun Surabaya Gubeng.


Selama menikmati perjalanan, kondisi kereta ekonomi yang Penulis naiki cukup nyaman dengan pendingin udara yang cukup sejuk, toilet yang cukup mewah dan tentu saja kursi yang semuanya searah dengan arah kereta membuat trip kali ini cukup menyenangkan.
Selama perjalanan, khususnya di sepanjang lintas Stasiun Wonokromo-Bangil, perjalanan relatif lancar meskipun terdapat pembatasan kecepatan (taspat) di petak Wonokromo-Waru akibat pergantian bantalan rel. Selain itu, kereta sempat tertahan di sinyal masuk di beberapa stasiun untuk memberikan prioritas kepada kereta dari arah berlawanan.


Ada hal menarik yang mencuri perhatian penulis di Stasiun Bangil. Lokomotif merah biru dengan nomor seri CC2018346 milik Depo Induk Jember, yang dikenal dengan julukan ‘Wak Rossi’, terlihat standby menunggu rangkaian Kereta Api Tawang Alun. Kehadirannya sebuah lokomotif di Stasiun Bangil menjadi bagian dari ‘ritual harian’ berupa traksi ganda, yaitu dua lokomotif berjalan bersama melintasi rute Bangil–Malang Kotalama.
Kejadian tersebut kemungkinan muncul setelah tragedi KKA Cicalengka pada awal tahun 2024. Tragedi tersebut menyebabkan sedikit perubahan dalam operasional lokomotif harian di wilayah Daop 8 Surabaya. Salah satu dampaknya adalah jarangnya lokomotif penumpang reguler yang beroperasi dengan posisi longhood atau ujung panjang. Perubahan lain juga terlihat pada dinas Commuter Line Supas, yang kini sepenuhnya menggunakan lokomotif CC206, serta pertukaran lokomotif yang terjadi pada Kereta Api Logawa dan Sri Tanjung.


Perjalanan dilanjut dari Stasiun Bangil menuju pemberhentian berikutnya di Stasiun Pasuruan dan Stasiun Probolinggo. Selama perjalanan disuguhi pemandangan bentangan sawah yang hijau dan juga sering kali bersebelahan dengan Jalan Daendels seksi Probolinggo-Pasuruan. Diantara Stasiun Pasuruan dan Stasiun Probolinggo juga terdapat beberapa stasiun kecil dan salah satunya adalah Stasiun Grati. Stasiun Grati sendiri dekat dengan salah satu destinasi wisata yaitu Ranu Grati, salah satu danau di Indonesia yang terdapat di dataran rendah.
Announcer kereta api mengumumkan jika sesaat lagi kereta api Mutiara Timur akan tiba di Stasiun Probolinggo, tanda Penulis akan mengakhiri perjalanan sesi pertama di stasiun tersebut. Suasana hawa panas tipikal wilayah dekat pesisir laut sedikit menusuk ke kulit setelah beberapa waktu terpapar hawa dingin pendingin udara. Setelah keluar dari stasiun, penulis menyempatkan untuk melakukan ishoma (istirahat, salat, dan makan) sambil menunggu keberangkatan kereta api Mutiara Timur kurang dari dua jam.

Perjalanan Mutiara Timur #2 Probolinggo-Surabaya
Setelah melakukan Isoma dan melakukan proses check-in di Stasiun Probolinggo, penulis akhirnya memilih untuk sedikit bersantai di ruang tunggu stasiun yang lumayan sejuk karena ruangan ber-AC dan menunggu sekitar kurang lebih 30 menit sebelum akhirnya petugas boarding memanggil seluruh penumpang Mutiara Timur Fakultatif dengan tujuan akhir Stasiun Surabaya Gubeng.

Sebelumnya, saat perjalanan dengan Kereta Api Mutiara Timur pertama, Penulis membeli tiket pulang seharga Rp55.000 melalui aplikasi Access by KAI pada pukul 10.50 WIB. Kereta Api Mutiara Timur untuk arah sebaliknya memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan “kembarannya.” Kereta ini beroperasi dengan kelas full eksekutif berkapasitas 48 tempat duduk, menggunakan rangkaian bekas Kereta Api Blambangan Ekspres relasi Ketapang-Pasarsenen, yang telah digantikan oleh kereta eksekutif stainless steel generasi pertama. Selain itu, perbedaannya juga terletak pada relasi perjalanan. Mutiara Timur dengan nomor perjalanan 190F dan 189F melayani rute Ketapang-Surabaya Gubeng PP, sedangkan Mutiara Timur dengan nomor 187F dan 188F melayani rute Ketapang-Surabaya Pasarturi PP.
Kereta akhirnya tiba pukul 12.50, terlambat tiga menit dari waktu seharusnya. Penulis duduk di Eksekutif 7 atau paling belakang mengingat pada saat memilih kursi hanya terdapat empat orang disana. Jadi, Penulis bisa leluasa untuk sedikit membaringkan reclining seat kereta.
Eksekutif-7 yang Penulis naiki kali ini adalah K1 0 82 06 milik Depo Kereta Ketapang. Kondisi kereta terasa sejuk dengan guncangan yang cukup stabil dengan model kaca retrofit ala pesawat terbang. Kursi lumayan empuk menurut Penulis dengan balutan kulit kursi yang warnanya menyerupai salah satu permen dengan tombol reclining berbentuk tuas. Selain itu, toilet yang tidak kalah mewah dibandingkan dengan kereta ekonomi New Generation Modifikasi yang pernah Penulis naiki sebelumnya menjadi nilai tambah bagi sarana ini.

Kereta berangkat dari Stasiun Probolinggo pukul 13.00 WIB, lambat 5 menit dari waktu yang tertera pada tiket. Dengan scenery yang sama, kereta seringkali ‘balapan’ dengan pengguna jalan sepanjang petak Probolinggo-Pasuruan, baik dengan kendaraan besar maupun sepeda motor dan mobil.
Salah satu hal menarik pada perjalanan kali ini adalah momen persilangan kereta api yang Penulis naiki dengan kereta api Logawa relasi Purwokerto–Jember PP dengan lokomotif langka yakni CC201 83 48 SDT ber-livery ala era perumka atau kita kenal sebagai livery merah-biru. Lokasi persilangan terletak di Stasiun Gedangan yang terkenal dengan legenda keruwetan macetnya, apalagi di jam-jam rush hour dan diperparah dengan kereta yang berhenti di Stasiun Gedangan. Posisi perlintasan Stasiun Gedangan sendiri juga cukup unik, yakni bersebelahan dengan peron untuk menaik-turunkan penumpang.

Akhirnya, kereta api Mutiara Timur yang Penulis naiki tiba di Stasiun Surabaya Gubeng pada pukul 15.25 WIB, terlambat 15 menit dari jadwal yang tertera. Setelah turun dari kereta, Penulis pun bergegas keluar stasiun untuk pulang ke rumah.
Penutup dan Kesimpulan
Sebagai salah satu alternatif pilihan transportasi, tarif khusus kereta api lintas Surabaya-Probolinggo PP dapat menjadi solusi bagi pengguna yang tidak ingin menggunakan transportasi lain ke arah timur karena berbagai alasan. Meskipun demikian, jadwal kereta api yang tersedia (terlebih ketika tulisan ini dibuat) masih tergolong terbatas. Untuk keberangkatan pagi dari Surabaya ke Probolinggo, hanya tersedia Probowangi, Pandalungan, dan Mutiara Timur; sedangkan keberangkatan sore tersedia Sri Tanjung, Logawa, dan Ranggajati; dan untuk keberangkatan malam terdapat Blambangan Ekspres dan Wijayakusuma—dengan catatan tiket masih tersedia.
Lintas Surabaya-Probolinggo, berdasarkan GAPEKA 2023, memiliki pembatasan kecepatan (taspat) yang relatif rendah dibandingkan lintas raya lainnya, dengan rincian: Wonokromo-Bangil 80 km/j, Bangil-Pasuruan 70 km/j, dan Pasuruan-Probolinggo 90 km/j. Hal ini menyebabkan durasi perjalanan mencapai sekitar dua jam. Kondisi tersebut menjadi salah satu poin evaluasi bagi pihak terkait untuk meningkatkan prasarana sehingga kecepatan kereta api dapat ditingkatkan dan waktu tempuh dapat dipersingkat.
Dengan peningkatan kecepatan dan waktu tempuh operasional, penulis berharap frekuensi perjalanan kereta api lintas Surabaya-Probolinggo dapat ditambah untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada penumpang. Terlebih lagi, daerah seperti Pasuruan, Probolinggo, Jember, hingga Ketapang memiliki berbagai destinasi wisata menarik yang dapat dicapai dengan nyaman menggunakan kereta api. (RED/alifmaulr)