EventIndonesiaKAI CommuterKereta ApiLRT JakartaMRT Jakarta

Berikut Rencana Tarif Integrasi Transportasi Urban dan Suburban Jakarta

Ilustrasi KRL Commuter Line dan TransJakarta, moda suburban dan perkotaan (urban) yang saling terhubung dalam kehidupan sehari-hari | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

REDigest.web.id, 11/8 – Wacana tarif integrasi untuk transportasi di wilayah Jakarta telah bergulir sejak lama. Bahkan telah berdiri sejumlah fondasi untuk mewujudkan ini, seperti pembentukan PT JakLingko Indonesia untuk mengatur integrasi tarif transportasi.

Pada 28 Juli lalu, Dewan Transportasi Kota Jakarta melakukan Focus Group Discussion bertajuk 3 Pilar Integrasi : Masa Depan Transportasi Jakarta Series 1 : Tarif. Dalam focus group discussion kali ini berfokus ke pembahasan terkait rencana tarif integrasi. Dari sejumlah presentasi dari Dishub DKI Jakarta, BPTJ, KAI Commuter, MRT Jakarta, LRT Jakarta, TransJakarta, dan JakLingko Indonesia, salah satu presentasi yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah rencana integrasi tarif dari JakLingko Indonesia.

 

Dalam presentasi berjudul Kajian Integrasi Ticketing dan Tarif JakLingko, dipaparkan mengenai rencana integrasi tarif transportasi mereka. Membuka presentasinya, Direktur PT JakLingko Indonesia Muhammad Kamaludin menjelaskan dalam executive summary pihaknya telah melakukan kajian willingness to pay dan ability to pay, dan menguji tujuh skenario tarif, dengan skenario terpilih diuji lebih lanjut.

Pada artikel ini akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana kajian-kajian willingness to pay dan ability to pay, bersama dengan tahapan integrasi tarif, rencana tarif integrasi, dan skenario aplikasi tarif tersebut.

Target Tahapan Integrasi Tarif JakLingko

Kartu Multi Trip KRL Commuter Line dan MRT
Ilustrasi Multi Trip MRT dan Commuter Line. Sistem pembayaran transportasi di Jabodetabek nantinya akan terintegrasi. | Foto: RED/Bayu Tri Sulistyo

JakLingko memiliki tiga target tahapan integrasi tarif transportasi di Jakarta. Tahapan-tahapan tersebut adalah Central Clearing House System dan Mobile App, Mobility as a Services (MaaS), dan Account Based Ticketing.

Tahapan pertama yaitu Central Clearing House System dan Mobile App rencananya berlangsung pada Agustus 2021. Akan terdapat peluncuran standar kartu JakLingko, aplikasi JakLingko, peningkatan scanner pada mesin tiket secara bertahap, penerapan seamless integration, dan merencanakan, memesan, dan membayar layanan semua transportasi umum.

Tahapan kedua yaitu Mobility as a Services (MaaS) rencananya akan berlangsung pada Maret 2022 mendatang. Salah satu perubahan terpenting pada tahap ini adalah penerapan tarif integrasi berbasis jarak untuk semua moda berkoordinasi dengan tim penyusunan tarif integrasi JakLingko, upgrade pada aplikasi JakLingko, dan integrasi dengan skala lebih luas seperti bike sharing, ojek, taksi, wisata, dan UMKM.

Tahapan ketiga yaitu Account Based Ticketing rencananya akan berlangsung pada Agustus 2022 mendatang. Selain sistem pertiketan yang saling terhubung antara kartu dan aplikasi, rencananya akan ada tarif khusus berdasarkan waktu dan profil pengguna (pelajar, lansia, dan sebagainya), serta kemampuan pembayaran untuk park and ride.

Rencana Integrasi Tarif

Skema tarif integrasi
Skema rencana tarif terintegrasi oleh JakLingko | Sumber: Presentasi JakLingko

Rencana integrasi tarif yang akan diterapkan JakLingko menjadi titik berat pembahasan kali ini. Hal ini disebabkan oleh skema tarif yang saat ini berlaku pada berbagai transportasi di Jakarta akan terintegrasi di bawah satu sistem.

Secara umum, saat ini terdapat dua skema besar pentarifan transportasi di Jakarta, yaitu berdasarkan jarak dan flat. Tarif berdasarkan jarak atau dikenal tarif progresif saat ini diterapkan oleh KAI Commuter, MRT Jakarta, dan KRL Railink. Sedangkan tarif flat saat ini diterapkan oleh TransJakarta termasuk Mikrotrans dan LRT Jakarta.

KAI Commuter (KRL Commuter Line) saat ini memiliki skema tarif Rp 3.000 untuk 25 km pertama, dan Rp 1.000 tiap 10 km berikutnya. Sedangkan MRT Jakarta memiliki skema tarif Rp 1.000 tiap kilometernya. Sementara TransJakarta menerapkan tarif flat Rp 3.500, dan LRT Jakarta menerapkan tarif  flat sebesar Rp 5.000.

Dalam rencana pentarifan terintegrasi ini, nantinya seluruh transportasi di Jakarta akan memiliki tarif progresif untuk moda transportasi perkotaan (urban) dan suburban.

Untuk moda transportasi urban (MRT Jakarta, TransJakarta, dan LRT Jakarta) tarifnya akan menjadi progresif dengan tarif awal (boarding fee) Rp 2.500 untuk 2 km pertama, dan kenaikan Rp 500 tiap km berikutnya hingga maksimal Rp 10.000. Sementara moda transportasi suburban (KRL Commuter Line) tarifnya akan menjadi progresif dengan tarif awal Rp 2.000 untuk 3 km pertama, dan kenaikan Rp 125 tiap km berikutnya hingga maksimal Rp 10.000. Selain itu, tarif maksimal perjalanan gabungan transportasi urban dan suburban adalah Rp 15.000.

Kajian sistem tarif yang terpilih
Kajian sistem tarif yang dipilih JakLingko | Sumber: Presentasi JakLingko

Dalam pengkajian tarif ini, skema tarif progresif dipilih setelah dilakukan perbandingan terhadap skema lain seperti tarif flat, tarif zonal, dan tarif berdasarkan jumlah perhentian. Skema ini dinilai paling optimal dalam segi penerapan, fleksibilitas menghadapi perubahan, kemudahan dan keberadilan bagi pengguna, dan rasio pemulihan operator. Namun tarif zonal dinilai nantinya dapat dikembangkan setelah pola penumpang di Jakarta berkembang.

Selain itu, penerapan besaran tarif awal ini juga telah mempertimbangkan jarak rata-rata antar perhentian yaitu 1 km. Mobilitas masyarakat jarak dekat juga dipertimbangkan dalam penyusunan tarif ini.

Pada rencana tarif terintegrasi ini juga terdapat simulasi tarif integrasi yang akan dijelaskan pada subbagian berikutnya.

Simulasi Tarif Integrasi

Skenario tranfser antarmoda
Salah satu skenario transfer antarmoda yang dipaparkan JakLingko yang juga dijelaskan dalam artikel ini | Sumber: Presentasi JakLingko

Setelah sebelumnya dijelaskan tarif baru untuk setiap moda, juga dijelaskan mengenai skema transfer antarmoda pada tarif terintegrasi ini. Penjelasan ini meliputi ketentuan-ketentuan transfer antarmoda serta skenario-skenario transfer yang dipaparkan JakLingko.

Contoh Transfer Antarmoda dengan Potongan Biaya

Untuk perpindahan antara sesama transportasi urban seperti dari MRT ke TransJakarta, maka pengguna tidak perlu membayar tarif awal lagi, seperti pada gambar pertama. Dalam perjalanan selanjutnya pengguna hanya membayar tarif tambahan jaraknya.

Contoh untuk transfer antar sesama moda urban adalah perjalanan dari ASEAN Bendungan Hilir dengan MRT Jakarta dan transit ke TransJakarta di Bendungan Hilir untuk ke Ancol. Pengguna membayar tarif awal MRT Jakarta dan tarif perjalanan hingga Bendungan Hilir. Namun saat berpindah ke TransJakarta, dari Bendungan Hilir ke Ancol ia hanya membayar tarif jaraknya saja.

JakLingko juga merencanakan adanya transfer rebate atau potongan harga saat berpindah moda dari transportasi urban ke suburban ataupun sebaliknya sebesar Rp 2.000.

Skenario transfer moda sububrban dan urban
Contoh skenario transfer moda suburban dan urban dalam rencana tarif terintegrasi JakLingko, lengkap dengan aplikasi transfer rebate | Sumber: Presentasi JakLingko

Contohnya adalah perjalanan dari Stasiun Bogor ke Stasiun Sudirman dengan KRL Commuter Line, lalu dari Dukuh Atas ke Blok M melanjutkan perjalanan dengan TransJakarta. Pengguna membayar tarif perjalanan KRL Commuter Line, namun saat berpindah moda ke TransJakarta, pengguna dapat potongan harga Rp 2.000 karena berpindah dari moda suburban ke urban.

Contoh Transfer Antarmoda tanpa Potongan Biaya

Ketentuan waktu transfer antarmoda
Ketentuan waktu transfer antarmoda dalam rencana skema tarif integrasi | Sumber: Presentasi JakLingko

Untuk transfer baik sesama urban ataupun antara suburban dengan urban, waktu tempuh maksimal dalam satu perjalanan adalah 180 menit. Sedangkan waktu transfer (baik transfer antarmoda ataupun untuk kembali dengan moda yang sama) maksimal dalam satu perjalanan adalah 45 menit.

Di luar itu, pengguna harus kembali membayar tarif awal saat akan menaiki moda berikutnya, dan untuk transfer dari moda suburban ke urban, potongan harga transfer juga tidak berlaku. Pengguna akan diingatkan jika batas waktu transfer mereka hampir habis. Menurut JakLingko, ketentuan waktu transfer 45 menit ini disusun agar memastikan pengguna ini hanya benar-benar melakukan satu perjalanan yang utuh dan saling terhubung.

Contoh untuk transfer sesama moda urban adalah perjalanan dari Senayan ke Lebak Bulus dengan MRT Jakarta dan transit ke TransJakarta di Lebak Bulus ke Kebon Jeruk. Jika pengguna tersebut transfer di Lebak Bulus setelah 50 menit, saat ia masuk TransJakarta maka ia harus membayar tarif awal lagi saat naik TransJakarta beserta dengan tarif jarak nantinya.

Contoh untuk transfer dari moda suburban ke urban adalah perjalanan dari Klender ke Tanah Abang dengan KRL Commuter Line dan transit ke MikroTrans di Tanah Abang ke Dukuh Atas untuk kemudian naik MRT Jakarta ke Lebak Bulus. Jika pengguna tersebut transfer di Tanah Abang setelah 50 menit, saat ia menggunakan MRT Jakarta nanti ia harus membayar tarif awal lagi dan tidak mendapat potongan Rp 2.000. Sementara tarif MikroTrans dari Tanah Abang ke Dukuh Atas masih ditetapkan 0 Rupiah.

Contoh Penerapan Tarif Maksimal Rp 10.000 (Urban) dan Rp 15.000 (Gabungan)

Seperti disebutkan sebelumnya, JakLingko telah menerapkan tarif maksimal Rp 10.000 untuk perjalanan sesama moda urban, dan Rp 15.000 untuk perjalanan gabungan moda urban dan suburban.

Untuk perjalanan sesama moda urban contohya adalah jika pengguna melakukan perjalanan dari dari Boulevard Selatan ke Velodrome dengan LRT Jakarta, lalu Pemuda Rawamangun ke Blok M dengan TransJakarta, dan dari Blok M ke Lebak Bulus dengan MRT Jakarta.

Dengan total waktu perjalanan termasuk transfer di bawah 180 menit, meski total tarifnya (tarif awal+jarak LRT Jakarta, tarif jarak TransJakarta, dan tarif jarak MRT Jakarta) adalah Rp 15.500, pengguna hanya membayar Rp 10.000 saja.

Namun dalam perjalanan gabungan moda urban dan suburban, tidak diberikan contoh di mana tarif maksimum gabungan yaitu Rp 15.000 dapat diterapkan meski tarif perjalanan sesungguhnya melampaui tarif tersebut. Terdapat beberapa contoh di mana tarif tersebut melampaui Rp 10.000, namun skenarionya melibatkan transfer di atas 45 menit, atau waktu tempuh termasuk transfer di atas 180 menit.

Contoh Penerapan Tarif Melampaui Tarif Maksimal

Tarif maksimal Rp 10.000 (urban) dan Rp 15.000 (gabungan urban dan suburban) hanya berlaku untuk perjalanan sesuai ketentuan waktu tempuh maksimal dalam satu perjalanan ataupun waktu transfer maksimal antarmoda.

Jika waktu tempuh perjalanan terlampaui, di akhir perjalanan pertama ia harus membayar tarif penuh, dan jika hendak transfer ke moda berikut ia juga harus membayar tarif awal. Seperti waktu transfer, pengguna juga akan diingatkan di aplikasi saat waktu maksimal perjalanannya hampir habis.

Contoh untuk moda urban adalah jika pengguna menggunakan MRT Jakarta, TransJakarta, dan LRT Jakarta dari Lebak Bulus ke Boulevard Selatan dengan total waktu tempuh 185 menit termasuk transfer dari MRT Jakarta ke TransJakarta di Bendungan Hilir  selama 40 menit yang masih sesuai ketentuan transfer antarmoda.

Pengguna tidak dapat menikmati tarif maksimal Rp 10.000, melainkan harus membayar total Rp 15.000. Jumlah ini meliputi tarif awal MRT Jakarta, tarif jarak MRT Jakarta, dan tarif jarak TransJakarta. Ia juga harus membayar tarif awal saat akan lanjut naik LRT Jakarta plus tarif jaraknya, dengan tarif tersebut adalah Rp 3.000, dengan total tarif Rp 18.000.

Contoh untuk moda urban dan suburban adalah jika pengguna menggunakan KRL CommuterLine, TransJakarta, dan MRT Jakarta dari Lenteng Agung ke Lebak Bulus via Manggarai dengan total waktu tempuh 206 menit termasuk transfer dari KRL Commuter Line ke TransJakarta di Manggarai selama 30 menit yang masih sesuai ketentuan transfer antarmoda.

Untuk KRL Commuter Line dan TransJakarta, pengguna harus membayar Rp 10.500. Jumlah ini meliputi tarif awal KRL Commuter Line, tarif jarak KRL Commuter Line, potongan harga transfer dari KRL Commuter Line ke TransJakarta, dan tarif jarak TransJakarta. Ia juga harus membayar tarif awal saat akan lanjut naik MRT Jakarta plus tarif jaraknya, dengan tarif tersebut adalah Rp 5.000, dengan total tarif Rp 15.500 di mana tarif maksimum Rp 15.000 tidak berlaku.

Kajian willingness to pay, ability to pay, dan Manfaat Integrasi Tarif

Kajian WTP dan ATP
Kajian willingness to pay (WTP) dan ability to pay (ATP) terhadap tarif transportasi umum | Sumber: Presentasi JakLingko

Pada kajian willingness to pay untuk rata-rata tarif (bukan tarif maksimal) ini diperoleh untuk masyarakat dengan taraf penghasilan rendah (0-3 juta Rupiah) adalah Rp 5.127 dan menyumbang 34,6% dari responden. Sementara tarif rata-rata yang kalangan ini bayarkan sekarang adalah Rp 4.300, sehingga JakLingko menilai masih ada ruang untuk penyesuaian tarif. JakLingko pun kemudian menentukan willingness to pay ini sebesar Rp 5.000.

Dalam benchmark tarif yang dilakukan JakLingko juga ditemukan tarif transportasi di Jakarta masih termurah di antara negara yang menjadi tolok ukur. Temuan ini menurut mereka sudah menyesuaikan dengan keseimbangan daya beli masyarakat di setiap negara.

Benchmark tarif transportasi
Benchmark tarif transportasi berdasarkan kesesuaian daya beli (purchasing power parity/PPP) | Sumber: Presentasi JakLingko

Selain itu JakLingko mengklaim dengan skenario ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, operator transportasi, dan pemerintah. Manfaat yang dapat diperoleh masyarakat di antaranya adalah kemudahan, kenyamanan, tarif terjangkau, serta cepat dan efektif. Sedang manfaat bagi operator transportasi adalah meningkatkan jumlah pengguna dan pendapatan, bisnis proses lebih efektif dan efisien, serta seamless integration. Dan manfaat bagi pemerintah adalah kebijakan tarif tepat sasaran, mengurangi subsidi, dan mengatasi kemacetan.

Penutup

Dari presentasi, tampak dalam sebagian besar kasus penerapan tarif terintegrasi tarif perjalanan pengguna dapat menjadi lebih murah. JakLingko sendiri mengklaim secara rata-rata 40% pengguna akan membayar tarif lebih murah dibanding yang berlaku saat ini. Sementara sisanya akan membayar ekstra Rp 334 per perjalanan. Diyakini dengan skema ini akan ada perpindahan pengguna secara neto dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.

Perbandingan pangsa moda transportasi umum
Perbandingan pangsa moda transportasi umum menurut DTKJ | Sumber: Presentasi DTKJ

Sebagai perbandingan, dalam presentasi oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) dari focus group discussion yang sama, pada tahun 2018 90% dari pangsa moda adalah kendaraan pribadi. Hal ini kontras pada tahun 2010 di mana hanya sekitar 70% pangsa moda kendaraan pribadi, dan tahun 2002 di mana hanya 36,6% pangsa kendaraan pribadi.

JakLingko juga berharap penerapan tarif terintegrasi ini juga dapat mengurangi beban subsidi melalui peningkatan pendapatan harga tiket rata-rata operator transportasi hingga 8,11%, sistem transportasi publik tetap terjangkau, penggunaan transportasi umum dapat makin digalakkan, dan pemberian tarif khusus tepat sasaran terhadap yang membutuhkan via pra-registrasi menggunakan sistem account based ticketing.

Meski demikian, dalam presentasi ini tidak dijelaskan bagaimana skema subsidi dalam tarif integrasi ini dapat terwujud. Hal ini disebabkan moda transportasi perkotaan dan suburban mendapat sumber subsidi yang berbeda. Di mana KAI Commuter memperoleh subsidi dari Kementerian Perhubungan via PT KAI, sedangkan transportasi perkotaan Jakarta memperoleh subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Bagi pembaca yang tertarik mengikuti keseluruhan focus group discussion ini dapat membuka tautan YouTube berikut ini, ataupun membuka video yang berada di awal artikel. Presentasi dari JakLingko berada pada menit 2:35:52. (RED/IHF)

Ikuti kami di WhatsApp dan Google News


One thought on “Berikut Rencana Tarif Integrasi Transportasi Urban dan Suburban Jakarta

Tinggalkan komentar...

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

×