KolomOpini

[OPINI] KAI Commuter Gagal Impor Bekas… Selanjutnya Apa?

KRL seri 205 di Stasiun Kampung Bandan. KRL seri ini menjadi penutup buku sejarah impor KRL bekas jika tidak ada perubahan kebijakan di masa depan. | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

Artikel di bawah ini adalah opini dari Penulis sebagai anggota Tim REDaksi. Penulisan opini ini tidak mewakilkan pandangan resmi dari keseluruhan Tim REDaksi

REDigest.web.id – Pergunjingan impor KRL seri E217 akhirnya secara resmi usai dengan akhir yang Penulis bisa bilang downer ending. Bagaimana tidak, perjuangan KAI Commuter untuk mendatangkan KRL seri E217 berakhir dengan penolakan impor. Pun ini semua telah menempuh rapat yang panjang, bolak-balik, dan bertele-tele.

Solusi yang keluar pun sebenarnya menurut Penulis meski bukan pada dasarnya buruk, tetapi berisiko tinggi. Selain tentu saja pengambilan keputusan yang terlalu lama sehingga orang-orang sudah banyak berharap.

Bagaimana tidak, impor darurat KRL bekas ini mendapat penolakan dan justru terpilih impor KRL baru. Tidak hanya itu, retrofit terhadap 19 rangkaian juga akan berjalan, begitu pula dengan pengadaan 8 rangkaian tambahan dari INKA di tahun 2027. Opsi ini sangat menuntut hasil pekerjaan yang “sempurna” agar tidak terjadi penundaan. Pasalnya, baik pembuatan sarana baru ataupun retrofit tentu membutuhkan waktu lebih lama daripada membeli sarana bekas dan memiliki risiko teething problem.

Dengan solusi yang akhirnya disepakati, apakah kita telah memasuki “Senjakala KRL Commuter Line”, atau menyingsing “Fajar Baru KRL Commuter Line”? Berikut pendapat dari Penulis.

Beli Baru, Beli ke Mana?

KRL seri E235 rangkaian KuRa F-01 saat melakukan uji coba di Jalur Shinetsu | Foto: Twitter @lu2sh

Berdasarkan hasil rapat antara KAI Commuter dengan para stakeholders, skema impor yang disetujui pun akhirnya impor baru. Dengan ini, pertanyaannya sekarang beralih ke “mau seberapa mahal?” dan “mau impor dari mana dan siapa yang mau jika hanya 3 rangkaian?”.

Pertanyaan ini tentu masuk akal karena pada umumnya order akan kereta baru seringkali dilakukan dalam jumlah besar. Di dalam negeri misalkan, KAI Commuter sendiri memesan sampai 16 rangkaian KRL ke INKA, dengan tambahan 8 rangkaian ke depannya. Atau KAI yang memesan 612 unit kereta dari INKA untuk peremajaan armada.

Contoh kasus permasalahan yang terjadi adalah pada kontrak pengadaan MRT Jakarta. Pada Oktober 2020 silam, MRT Jakarta dalam program penambahan armada untuk fase 2A adalah sebanyak 6 rangkaian. Akan tetapi, saat market sounding tidak ada pihak yang tertarik karena jumlah rangkaian yang terlalu sedikit. Pada Maret 2021, barulah pasar merespons positif setelah ada penggabungan rencana pengadaan dengan fase 2B menjadi 14 rangkaian.

Ada dua hal yang menurut Penulis dapat KAI Commuter lakukan dalam menghadapi situasi seperti ini, yaitu adendum kontrak, ataupun mengambil slot produksi.

Adendum Kontrak

Untuk strategi pertama yakni adendum kontrak alias perubahan kontrak. Saat ini INKA telah menandatangani kontrak produksi 16 rangkaian KRL di INKA. Dari kabar yang beredar di media, INKA telah berencana untuk menggunakan teknologi Jepang dari J-TREC sebagai rekan kerja sama mereka.

Penulis berpendapat INKA dapat mengadendum kontrak produksi mereka agar mendapat tiga trainset tambahan. Trainset tersebut dibuat secara completely built up di Jepang dengan desain dan spesifikasi mengacu ke KRL yang akan diproduksi di INKA Banyuwangi. Hal tersebut akan menjadi serupa dengan beberapa pengadaan KRL ekonomi dari INKA di mana rangkaian awal menjalani konstruksi secara completely built up di negara asal. Rangkaian produksi selanjutnya barulah menjadi produksi INKA.

Tantangan dari langkah ini adalah bagaimana INKA dan J-TREC dapat bernegosiasi dengan segera untuk bisa menanbah tiga rangkaian tambahan yang diproduksi di Jepang. Hal ini karena agar produksi suatu kereta, apalagi kereta yang sifatnya custom tidak akan bisa dilakukan sangat mendadak.

Mengambil Slot Produksi

Strategi kedua yang sifatnya memang lebih drastis adalah dengan mengambil slot produksi. Pada langkah ini, KAI Commuter mengambil trainset baru yang sedang diproduksi dari J-TREC.

Langkah ini memang sudah umum di dunia penerbangan di mana maskapai dapat mendapat pesawat baru dengan cepat menggunakan strategi ini. Akan tetapi, penerbangan di seluruh dunia cenderung terstandardisasi sistemnya, dengan perbedaan hanya pada konfigurasi kabin dan fasilitas pesawat yang mengikuti keinginan maskapai ataupun pemesan. Sementara dunia perkeretaapian memiliki standar yang sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sebut saja sisi mengemudi masinis, lebar kereta, sistem teknologi propulsi, dan sebagainya. Kecuali, jika pengambilan slot produksi ini KAI Commuter lakukan tidak sekadar mengambil produksi saja. Tetapi ada beberapa penyesuaian seperti misalnya sisi mengemudi masinis agar berjalan di kanan. Selain itu, KAI Commuter harus menyamakan sistem propulsi dan traksi dengan calon KRL baru dari INKA nantinya agar armada beli baru ini tidak menjadi orphan fleet. Sementara untuk ukuran kereta, jika strategi ini diambil tentu sudah akan sangat sulit untuk penyesuaian.

Bagaimana dengan Harga Beli Baru?

MRT Jakarta, salah satu BUMD transportasi DKI Jakarta
MRT Jakarta, salah satu BUMD transportasi DKI Jakarta | Foto: RED/Gilang Fadhli

Pertanyaan selanjutnya dari membeli KRL baru adalah tentu saja harganya. Kita semua telah mengetahui harga KRL bekas memang jauh lebih murah, dan penyediaannya juga bisa sangat cepat. Pada tahun 2021, Penulis sendiri telah memberi perbandingan pengadaan MRT Jakarta dan KAI Commuter.

MRT Jakarta dari pemenangan kontrak pengadaan tahun 2015 dengan Sumitomo dan Nippon Sharyo, armada tersebut kemudian mulai diujicobakan di pabrik Nippon Sharyo di Jepang pada akhir 2017, dan baru mulai tiba pada April 2018 dengan keseluruhan 16 rangkaian yang terdiri dari 96 kereta tiba pada akhir 2018.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2019 KAI Commuter mengimpor 198 unit KRL seri 205 dari Jalur Musashino, dan 120 unit pada tahun 2020. Sedangkan selama 7 tahun dari 2013 hingga 2020 KAI Commuter sejak bernama PT KCJ telah mengimpor KRL seri 205 dari JR East sebanyak 812 kereta dengan total 102 rangkaian (sebelum rekomposisi menjadi SF10 dan 12). Ditambah lagi 14 rangkaian KRL seri 6000 VVVF dari Tokyo Metro di antara tahun 2016 hingga 2018 dengan total 140 kereta.

Sedangkan dari segi harga, harga KRL bekas hanya sekitar sebesar Rp2 miliar per unitnya pada tahun 2019. Sedangkan harga KRL baru jika membeli dari INKA sekitar Rp4 triliun untuk 16 rangkaian 12 kereta atau sekitar Rp20,3 miliar per kereta. Sedangkan sebagai perbandingan, MRT Jakarta membeli KRL baru seharga Rp13,5 triliun untuk 96 unit kereta, atau sekitar Rp13,5 miliar per kereta pada tahun 2018, yang jika disesuakan dengan 2023 menjadi Rp15,6 miliar per kereta.

Bagaimanakah harga impor KRL baru dari Jepang untuk 2025 mendatang? Hal ini yang menurut Penulis harus kita nantikan bersama.

Kok bisa impor utuh dari luar lebih murah?

Untuk perbandingan antara KRL MRT Jakarta dan calon KRL INKA ini, Penulis berpendapat hal ini karena membeli KRL baru langsung dari luar negeri hanya perlu mengimpor unit KRLnya saja.

Terlebih untuk kasus KRL buatan Jepang, rantai suplai komponennya tergolong mudah. Hal ini karena banyak komponen yang dapat diproduksi secara domestik, sehingga dapat mengurangi biaya.

Bagaimana Indonesia? Dalam kasus ini Penulis berpendapat KRL buatan INKA dapat lebih mahal karena sejumlah komponen kunci seperti propulsi dan traksi sifatnya harus diimpor terpisah. Hal ini memang berpotensi menaikkan biaya produksi untuk KRL.

Meski demikian, Penulis mendukung agar INKA bisa berkembang. Oleh karenanya menurut Penulis Pemerintah harus memiliki kebijakan agar harga pengadaan KRL dari INKA untuk dalam negeri bisa tetap kompetitif. Apalagi kelak INKA akan menjadi pemasok utama untuk KAI Commuter dengan ditutupnya keran impor KRL bekas.

Retrofit?

Ilustrasi: KRL rangkaian 6101F, salah satu KRL seri 6000. KRL ini sejatinya telah mendapat retrofit pada 1990an, akankah kembali diretrofit? | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

Sebelum gagalnya impor KRL bekas, Salah seorang pembaca pun ada yang sempat berpendapat KAI Commuter pun tampak memang sudah “menyerah dengan takdir”. Sementara menurut Penulis, dari pernyataan sikap KAI Commuter saja mereka tampak “ikut saja” dengan rekomendasi retrofit KRL setelah hasil audit.

Nasi sudah menjadi bubur, keputusan ini pun harus dilakukan. KAI Commuter mengklaim pihaknya siap untuk melakukan retrofit sebanyak 19 rangkaian yang sedianya akan pensiun pada 2024 besok. Hal ini tentu menimbulkan dua pertanyaan: “Bagaimana menutup kekurangan armada?” Dan “Seberapa aman?”.

Jika memang KAI Commuter akan melakukan retrofit terhadap rangkaian yang masih beroperasi, maka tentu akan terjadi defisit rangkaian. Satu-satunya cara bagi KAI Commuter untuk menutup kekurangan ini adalah dengan “membelah” semakin banyak rangkaian KRL seri 205 dari 12 menjadi 8 kereta.

Hal ini tentu tidak ideal karena kapasitas KRL saja saat ini sudah cukup berkurang karena banyak rangkaian yang menjadi stamformasi 8 kereta. Sedangkan lintas yang sering mengalami penumpukan adalah Lin Bogor alias Sentral yang headwaynya sudah dipres semaksimal mungkin, sehingga penambahan kapasitasnya justru harusnya dengan penambahan panjang rangkaian.

Selain itu, apakah proses retrofit dapat dijamin keamanannya? Seharusnya,  jika memang ada perkuatan rangka dan perbaikan lainnya. Namun rangkaian KRL yang awalnya KAI Commuter hendak pensiunkan ini usianya sangat beragam. Misal KRL seri 6000 eks Tokyo Metro saja, tahun pembuatannya beragam dari 1971 hingga 1988. Bahkan beberapa kereta pada rangkaian 6101F aslinya buatan 1969 lho.

Seandainya impor KRL bekas tidak gagal begitu saja tetapi retrofit tetap berjalan, KRL-KRL hasil retrofit ini justru bisa memperkuat lintas lain. Lin Tangerang misalnya, yang saat ini berkurang satu rangkaian, ataupun penambahan feeder di Lintas Lingkar. Atau bahkan solusi yang mungkin lebih ekstrem seperti pemindahan ke Lin Yogyakarta sebagai suplemen armada KRL KfW yang sudah ada.

Mengamankan Tarif KRL Commuter Line

Permasalahan pun akan semakin rumit jika tarif KRL Commuter Line menjadi terlibat. Pasalnya impor KRL baru ataupun produksi KRL baru ini akan membutuhkan modal yang lebih besar. Dalam pemberitaan sebelumnya, disebutkan dibuka opsi Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam pengadaan sarana KRL. Selain itu, KAI Commuter juga berkoordinasi dengan pihak berwenang terkait PSO agar tarif KRL tidak membebani pengguna.

Melihat tren PSO yang besarannya mengecil pada 2023 dibanding dengan 2022, Penulis sejujurnya agak pesimis melihat ini. Jika tarif harus naik, maka pihak terkait harus kembali menyurvei pengguna. Sebab terakhir kali survei berlangsung adalah ketika wacana kenaikan tarif pada 2022 silam. Wacana ini pun tidak terlaksana sampai waktu yang tak ditentukan.

Selain itu, tentu saja pengguna wajar akan merasa sangat kecewa. Hal ini karena kepentingan mereka, yakni mendatangkan KRL bekas agar dapat “membabat” KRL SF8 terganggu. Terlebih gangguan tersebut tidak mengherankan akan mereka persepsikan akibat intervensi pemerintah.

Penutup: “Senjakala KRL Commuter Line”, atau “Fajar Baru”?

Apakah saat ini kita sudah memasuki “Senjakala KRL Commuter Line”? | Foto: RED/Ikko Haidar Farozy

Saat ini situasi KAI Commuter memang cukup riskan. Dari opini-opini yang Penulis sampaikan di atas, dapat disimpulkan poin-poin sebagai berikut:

  1. Membeli KRL baru bisa menggunakan slot produksi eksisting, ataupun menambah order trainset INKA untuk dirakit di Jepang
  2. Bicara dari pengalaman, justru harga KRL impor baru bisa lebih murah dari harga KRL buatan INKA. Hal ini karena berbagai faktor teknis, salah satunya rantai suplai. Tetapi tentu saja harga ini jauh lebih mahal dari KRL bekas.
  3. Retrofit KRL tidak terhindarkan akan mengganggu operasional KRL jika mengambil rangkaian yang masih dapat beroperasi. Terlebih saat ini krisis rangkaian SF8 sudah cukup parah dan dapat semakin parah
  4. Penulis pesimis tarif KRL Commuter Line dapat dijaga. Naik sedikitpun, pengguna pasti akan kecewa karena menurut persepsi mereka kepentingannya telah terganggu akibat intervensi pemerintah

Dari segala ini, ada risiko kita akan memasuki era “Senjakala KRL Commuter Line”. Potensi penurunan pelayanan akibat pemotongan stamformasi dibarengi dengan kenaikan tarif sangatlah besar. Pada 2021 silam, Penulis sempat beropini seharusnya impor KRL bekas dan pengadaan KRL baru berjalan secara berkesinambungan. Namun kala itu, tidak ada yang memikirkan opsi retrofit untuk KRL yang dijadwalkan pensiun.

Pengguna pun harus bersabar lebih lama karena gagalnya impor KRL seri E217 yang sudah akan disusun menjadi rangkaian 12 kereta. Akan tetapi, di sisi lain melihat pengalaman dengan KRL seri 205, tidak menutup kemungkinan KRL seri E217 ini justru mengalami pemendekan ataupun tidak beroperasi akibat masalah roda. Jika hal ini terjadi, skenario krisis SF8 tetap berpotensi terulang, seandainya operator juga tidak mengubah pola perawatan mereka.

Lalu mengapa masih ada harapan “Fajar Baru”? Penulis berpendapat dengan pengadaan KRL yang saat ini lebih operator seriusi, seharusnya permasalahan-permasalahan klasik yang menimpa KRL buatan INKA dapat dicegah. Meski demikian, selaku barang baru, potensi masalah yang tak terduga bisa ada, namanya teething problem. Selain itu, tentu saja, jika kualitas sarana membaik, perawatan oleh operator juga harus membaik juga. Jika tidak, juga tetap akan ada krisis armada. (RED/IHF)

Ikuti kami di WhatsApp dan Google News


Tinggalkan komentar...

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

×