KolomOpini

[OPINI] Mengapa Indonesia Masih Impor KRL Bekas?

KRL seri 205, salah satu jenis krl bekas
KRL seri 205, jenis KRL bukan baru (bekas) yang saat ini paling umum di Indonesia

Pada akhir tahun lalu INKA baru saja mencetak sejarah yang harum. Sebagai bagian dari ekspor kereta dan lokomotif ke Filipina, pada Desember 2020 kemarin INKA telah mengirim lokomotif dan kereta pesanan Filipina dari Pelabuhan Tanjung Perak. Tidak itu saja, pada 2019 lalu INKA juga telah mengirim armada KRD ke Negara yang sama.

Kemampuan INKA mengekspor kereta ini kemudian menarik perhatian beberapa pihak, salah satunya adalah anggota Komisi VI DPR Andre Rosiade. Dalam pernyataan pada Antara awal Januari ini, ia menyebutkan PT KAI sudah tidak ada alasan lagi mengimpor kereta bekas dari Jepang. Ia menyebutkan INKA sudah mengekspor ke sejumlah Negara seperti Filipina, Bangladesh, dan memenangkan proyek KA di Kongo. Ia juga meminta Kementerian BUMN untuk melarang PT KAI mengimpor kereta bekas.

Pernyataan ini juga bukan pertama kalinya yang mempersoalkan kereta bekas. Bahkan di tahun 2013 silam, Menteri BUMN kala itu Dahlan Iskan telah menargetkan impor kereta bekas dari Jepang berhenti pada tahun 2016. Ia menyebutkan PT KAI kala itu boleh membeli kereta bekas untuk menyehatkan kinerja perusahaan, lebih murah, dan saat itu INKA belum siap produksi massal. Namun dalam 3 tahun itu juga INKA harus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksinya.

Realisasinya, meski INKA akhirnya berhasil memproduksi KRL seri EA203 untuk Bandara Soekarno-Hatta dan KRDE seri ME204 untuk Bandara YIA dan Minangkabau, serta memperluas pasar ekspornya, impor kereta bekas tetap berlanjut hingga 2020 kemarin. Sementara armada KRL baru mulai dipesan dari INKA sejak 2019 dan saat ini diketahui masih dalam tahap diskusi spesifikasi.

Mengapa hingga saat ini PT KAI dianggap masih mengimpor kereta bekas? Berikut adalah opini dari salah satu penulis Tim REDaksi.

Kereta Buatan INKA Sendiri Sudah Banyak Beredar

Hal pertama yang menurut Penulis harus jelaskan adalah pernyataan “PT KAI mengimpor kereta bekas” yang sering beredar. Sesungguhnya pengimpor dari kereta bekas ini adalah KAI Commuter (dengan nama hukumnya PT Kereta Commuter Indonesia atau KCI), yang sebelum 20 September 2017 bernama PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KCJ). KAI Commuter dan KAI sendiri meskipun sama-sama membawa nama KAI, sesungguhnya adalah entitas perusahaan yang berbeda, dengan KAI Commuter adalah anak perusahaan PT KAI yang berdiri sejak 2009.

tanda pengapalan pt kcj
Tanda pengapalan KRL dari Jalur Nambu. 2015. Tampak tujuan pengapalan yaitu PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KCJ, PT KCI baru eksis 2017).

Hal selanjutnya, kereta yang dimaksud adalah KRL yang digunakan KAI Commuter untuk armada Commuter Line mereka. Impor armada bekas ini memang pertama kali dilakukan oleh PT KAI dalam wujud Divisi Jabotabek sejak tahun 2000 di mana kala itu mereka mendapat armada eks Toei seri 6000. Impor KRL bekas ini kemudian berlanjut dengan KRL seri 103 dari JR East, 8000 dan 8500 dari Tokyu, serta seri 1000 dari Toyo Rapid.

KRL eks Toei 6000
KRL eks Toei 6000 semasa masih beroperasi di Jabodetabek | Foto: Lukman Awaludin Mukti

Bahkan setelah Divisi Jabotabek berubah menjadi PT KCJ, impor ini masih berlanjut dengan KRL seri 6000, 05, dan 7000 dari Tokyo Metro serta KRL seri 203 dan 205 dari JR East. PT KCJ dalam perkembangannya berubah menjadi PT KCI yang sekarang beroperasi dengan nama KAI Commuter.

PT KAI sendiri sejak lama selalu memesan armada kereta dari INKA untuk kereta penumpang dan sebagian besar gerbong barangnya. Terakhir pada tahun 2018-2019 lalu PT INKA memproduksi armada kereta stainless steel  (baja nirkarat) untuk kebutuhan armada kelas Ekonomi dan Eksekutif PT KAI.

Kereta buatan INKA
Kereta stainless steel (baja nirkarat) buatan INKA tahun 2018-2019. PT KAI sejak lama telah mengandalkan INKA sebagai pemasok armada kereta penumpangnya.

Waktu yang Lama Jika Membeli Baru

KRL MRT Jakarta
KRL MRT Jakarta buatan Nippon Sharyo, salah satu contoh armada KRL komuter yang merupakan hasil beli baru

Pengadaan sarana baru bukanlah hal yang bisa dikatakan sebentar langsung jadi. Dari proses tender, diskusi dan finalisasi desain, produksi, uji coba, hingga beroperasi memakan waktu yang tidak sebentar. Meskipun demikian, memang pembelian armada baru sejatinya dapat menyesuaikan kebutuhan sang pemesan.

Sedangkan pengadaan sarana bekas meskipun pengadaanya tidak fleksibel dan harus menunggu operator aslinya mulai berencana memensiunkan sarananya, dan menggunakan spesifikasi sebagaimana ditentukan operator aslinya semasa beroperasi, tetapi pengadaannya bisa lebih cepat. Hal ini dikarenakan setelah disepakati untuk dibeli, sarana ini setelah dipensiunkan tinggal diinspeksi sebelum dikirim, dan setelah dipastikan kondisinya baik, dikirimkan ke Indonesia, untuk kemudian diujicobakan sebelum beroperasi.

Sebagai contoh MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan LRT Palembang. MRT Jakarta dari pemenangan kontrak pengadaan tahun 2015 dengan Sumitomo dan Nippon Sharyo, armada tersebut kemudian mulai diujicobakan di pabrik Nippon Sharyo di Jepang pada akhir 2017, dan baru mulai tiba pada April 2018 dengan keseluruhan 16 rangkaian yang terdiri dari 96 kereta tiba pada akhir 2018.

LRV LRT Jakarta
LRV LRT Jakarta buatan Hyundai Rotem, satu lagi contoh armada kereta komuter yang merupakan hasil beli baru

Sedangkan untuk LRT Jakarta, tender pengadaan LRT Jakarta sebanyak 16 kereta dalam 8 rangkaian ini dimenangkan pada Februari 2017, mulai diujicobakan di pabrik Hyundai Rotem di Korea Selatan pada Februari 2018, dan April 2018 mulai tiba di Jakarta, dengan keseluruhan rangkaian tiba pada Juli 2018.

Dan untuk LRT Palembang, tender pengadaan 24 kereta dimenangkan INKA pada 2017, dengan keseluruhan LRV tiba di Palembang pada November 2018, tiga bulan setelah operasional LRT Palembang bermula pada Agustus 2018.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2019 KAI Commuter mengimpor 198 unit KRL seri 205 dari Jalur Musashino, dan 120 unit pada tahun 2020. Sedangkan selama 7 tahun dari 2013 hingga 2020 KAI Commuter sejak bernama PT KCJ telah mengimpor KRL seri 205 dari JR East sebanyak 812 kereta dengan total 102 rangkaian (sebelum rekomposisi menjadi SF10 dan 12). Ditambah lagi 14 rangkaian KRL seri 6000 VVVF dari Tokyo Metro di antara tahun 2016 hingga 2018 dengan total 140 kereta.

penurunan KRL seri 205
Penurunan KRL seri 205 dari Jalur Musashino pada tahun 2018, selama periode 2018-2020 KAI Commuter mengimpor 336 unit KRL seri ini

Jika jumlah tersebut dibagi secara rata-rata, dalam 7 tahun tersebut KAI Commuter mengimpor sekitar 136 kereta dan 17 rangkaian per tahunnya. Jumlah yang sangat besar dibanding dengan realisasi produksi kereta pengadaan baru dari contoh kasus yang ada, dalam waktu yang lebih singkat atau serupa. Terlebih dalam 5 tahun ke belakang saja kebutuhan rangkaian telah berkembang sangat pesat.

Kebutuhan Jumlah Sarana yang Terus Meningkat dalam Waktu Cepat

KRL di Cikarang
Ekspansi KRL KAI Commuter ke Cikarang pada tahun 2017 lalu bersama dengan ekspansi ke Rangkasbitung menjadi salah satu faktor peningkatan kebutuhan armada KRL

Selama 5 tahun terakhir, sistem KRL Commuter Line Jabodetabek mengalami pertumbuhan yang pesat. Jumlah rangkaian dan perjalanan setiap pergantian GAPEKA (Grafik Perjalanan KA) meningkat cukup signifikan. Terlebih di tahun 2017, KAI Commuter saat masih bernama KCJ sudah melakukan ekspansi ke Lin (Lintas) Rangkasbitung dan Cikarang.

Berikut adalah perubahan jumlah rangkaian dan perjalanan KRL Jabodetabek dalam kurun waktu 5 tahun terakhir:

tabel jumlah loop dan perjalanan KRL
Perkembangan kebutuhan jumlah rangkaian dan perjalanan KRL dalam 5 tahun terakhir | Sumber data: KAI Commuter, DJKA

Dari sekian revisi Gapeka ini pun masih tidak jarang terdengar keluhan waktu tunggu KRL yang terlalu lama, ataupun kapasitas yang tidak memadai, sehingga KAI Commuter terus menambah armada dan perjalanan untuk KRL Commuter Line. Hal ini berkontribusi dengan perkembangan pesat jumlah armada dan perjalanan KRL, dan menurut Penulis masih akan berlanjut selama beberapa tahun ke depan.

Belum lagi jumlah rangkaian yang disebutkan di atas hanyalah jumlah rangkaian yang harus tersedia untuk beroperasi. Jumlah ini harus ditambah lagi dengan jumlah yang memang menjadi cadangan, dan yang harus menjalani pemeliharaan rutin, ataupun perawatan 48 bulan (P48). Ditambah lagi seiring berjalannya waktu, rangkaian-rangkaian KRL sudah ada beberapa yang tidak beroperasi karena alasan teknis dan harus diganti.

Hal ini menurut Penulis penting karena apalagi dengan kebutuhan rangkaian yang semakin banyak, dikhawatirkan jika tidak tersedia rangkaian yang mencukupi untuk cadangan sedangkan ada rangkaian yang rusak, maka berpeluang ada perjalanan yang tidak dapat dijalankan karena tidak tersedianya rangkaian. Hal ini sendiri sudah pernah terjadi di Gapeka 2019 di mana selama berbulan-bulan ada sejumlah perjalanan yang tidak beroperasi karena jumlah rangkaian yang tidak mencukupi.

Dengan sistem yang sudah telanjur berkembang pesat ini, ditambah dengan regenerasi armada yang juga harus dilakukan untuk memenuhi jumlah yang diperlukan, menurut Penulis akan sulit jika KAI Commuter langsung dilarang untuk mengimpor armada KRL bekas.

Biaya Beli Baru yang Lebih Mahal dan Spesifikasi yang Belum Sesuai Kebutuhan KAI Commuter

KRL KfW i9000
Armada KRL KfW i9000 yang dulu sempat digunakan di Jabodetabek. KAI Commuter mengklaim armada ini mengalami banyak masalah sehingga akhirnya ditarik kembali ke INKA sebelum kemudian ditugaskan untuk KRL Daop 6 Yogyakarta. | Foto: Lukman Awaludin Mukti

Selain waktu produksi yang tidak sebanding dengan pertumbuhan yang amat pesat, biaya beli baru juga menjadi faktor mengapa KAI Commuter tetap melirik KRL bekas. Dari informasi yang Penulis kumpulkan di media, harga KRL bekas hanya sekitar Rp 900 juta pada tahun 2013, dan Rp 2 miliar pada tahun 2019. Sedangkan harga KRL baru jika membeli dari INKA sekitar Rp 9 miliar pada tahun 2013, dan Rp 18 miliar pada tahun 2019.

Kemudian KAI Commuter juga menyebutkan pada awal 2020 kalau spesifikasi kereta buatan INKA belum sesuai kebutuhan. Spesifikasi yang dimaksud ini adalah INKA belum pernah membuat KRL 12 kereta, dan KRL yang sebelumnya diproduksi yaitu 10 rangkaian formasi 4 kereta yaitu KRL KfW i9000 harus dikembalikan ke INKA karena dirasa mengalami banyak gangguan. Pada akhirnya KRL KfW i9000 yang disebutkan ini telah digunakan kembali di lintas Daop 6 Yogyakarta setelah menjalani proses rehabilitasi dan uji coba di Daop 1 Jakarta dan Daop 6 Yogyakarta.

Meski demikian, menurut Direktur Utama INKA KCI (KAI Commuter) pun mengalami kesulitan perawatan karena suku cadang KRL bekas juga mulai sulit. Sementara KAI Commuter menyebutkan bahwa KRL bekas yang mereka gunakan mendapat dukungan penuh.

Menurut pengamatan Penulis, kedua klaim ini sama-sama ada benarnya karena contohnya JR East sejak 2013 memberikan dukungan teknis untuk KRL seri 205 yang dibeli ke Indonesia. Sedangkan KAI Commuter pada 2016 juga mengklaim ke media KRL seri 6000 VVVF juga suku cadangnya masih terjamin. Akan tetapi, beberapa KRL bekas bahkan yang relatif baru seperti rangkaian 6108F dan BOO17 juga sempat ada yang mangkrak cukup lama. Belum lagi rangkaian yang sudah beroperasi sejak lama seperti 05-109F, 7117F, 6111F, 6125F, dan beberapa rangkaian lain kini telah tidak lagi terlihat di lintas.

KRL BOO17 saat mangkrak
Salah satu kereta dari rangkaian BOO17 yang mangkrak pada 2015 lalu. Rangkaian ini kembali beroperasi pada 2016.

Namun KAI Commuter pun telah memesan KRL baru

pabrik baru pt inka
Pembangunan pabrik baru PT INKA. Tidak menutup kemungkinan armada KRL baru pesanan KAI Commuter pada 2019 akan menjadi kereta pertama yang diproduksi di sini. | Foto: PT Utomo Deck

Meskipun demikian, KAI Commuter pun juga telah merencanakan pengadaan KRL baru. Pada tahun 2019 lalu KAI Commuter telah meneken kerjasama dengan INKA untuk memesan rangkaian KRL baru. Saat itu direncanakan KRL baru ini mulai dipesan tahun 2021 mendatang. Hal ini sesuai dengan Laporan Tahunan 2018 PT KCI (Nama yang saat ini masih menjadi nama hukum KAI Commuter) di mana telah ada program kerja untuk pembelian KRL baru.

Program pembelian KRL baru ini terkait dengan rencana INKA yang saat ini membangun pabrik di Banyuwangi. INKA menyebutkan KRL pesanan KAI Commuter kemungkinan akan menjadi kereta pertama yang diproduksi di pabrik Banyuwangi ini. Meski saat ini belum spesifikasi KRL baru pesanan KAI Commuter belum sepenuhnya ditetapkan, tetapi diketahui jumlah KRL baru yang direncanakan dibeli KAI Commuter adalah sebanyak 25 rangkaian.

Dari pernyataan KAI Commuter pada awal 2020 yang menyebutkan INKA sebelumnya belum memenuhi spesifikasi mereka karena tidak memproduksi rangkaian 12 kereta, menurut Penulis masuk akal jika KAI Commuter meminta INKA agar KRL pesanan mereka bisa dibuat sebagai 12 kereta. Terlebih pabrik baru di Banyuwangi ini ukurannya akan lebih besar dari pabrik yang ada di Madiun.

Bagaimana dengan alternatif selain INKA?

Selain INKA, sebenarnya menurut Penulis alternatif dari pabrik lain mungkin saja dapat dipertimbangkan. Jika seandainya INKA di masa depan tetap kesulitan menghadapi permintaan kebutuhan KAI Commuter karena harus mengerjakan pesanan ekspor dan KAI yang jumlahnya berpotensi cukup besar di masa depan, mungkin KAI Commuter dapat mencari alternatif pemasok KRL baru selain INKA.

Akan tetapi, dua faktor yaitu harga yang bisa jadi lebih mahal, dan keinginan untuk meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menurut Penulis berpotensi mengganjal opsi ini. Sebagai contoh kasus, LRT Jabodebek saat tender pengadaannya sempat mempertimbangkan untuk mengimpor armada, tetapi langkah ini tidak disetujui oleh Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dengan alasan TKDN.

Pada umumnya pilihan produsen selain INKA dimungkinkan dengan syarat produsen tersebut bekerjasama dengan pihak lokal. Skenario yang selama ini umumnya terjadi adalah antara pabrikan tersebut membuat unit jadi dengan sebagian komponen dirakit di Indonesia, seperti misal KAI saat membeli lokomotif CC206 dengan bogie buatan Barata, atau pabrikan tersebut bekerjasama langsung dengan INKA seperti misalnya Stadler.

Penutup

Demikian opini yang Penulis sampaikan kali ini. Dari perbandingan jumlah produksi KRL baru dalam setahun dari contoh-contoh kasus pengadaan armada KRL dan LRV baru dengan jumlah pengadaan KRL bekas dalam waktu yang sama vs peningkatan kebutuhan armada, dan selisih harga yang berbeda jauh menurut Penulis berpengaruh dalam pengambilan keputusan mengapa KAI Commuter tetap memilih KRL bekas.

Dengan beroperasinya KRL KfW yang telah diperbaiki sebagai calon armada Commuter Line Yogyakarta-Solo, dan nantinya KRL baru yang akan dipesan KAI Commuter dari INKA, menurut Penulis masuk akal jika berharap pandangan KAI Commuter akan KRL baru akan semakin baik. Namun Penulis juga berpendapat bahkan dengan adanya KRL baru nanti, tidak menutup kemungkinan KRL bekas masih akan tetap diadakan secara bersamaan jika kebutuhan dengan KRL baru tidak serta merta dapat dipenuhi.  (RED/IHF)

Artikel ini adalah opini dari Penulis sebagai anggota Tim REDaksi. Penulisan opini ini tidak mewakilkan pandangan resmi dari keseluruhan Tim REDaksi

Ikuti kami di WhatsApp dan Google News


5 komentar pada “[OPINI] Mengapa Indonesia Masih Impor KRL Bekas?

Tinggalkan komentar...

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

×