96 Tahun Kereta Rel Listrik di Indonesia, Perjalanan Awal Hingga Masa Kini
Bantuan Jepang dalam memodernisasi KRL Jabotabek

Masa depan cerah mulai terbit di Jabotabek pada dekade 1970-an. Pada tahun 1972, pemerintah melalui PJKA memesan 10 rangkaian KRL dari Jepang. Rangkaian KRL yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan KRL Rheostatik karena teknologi yang digunakannya ini pun tiba di Indonesia pada tahun 1976, dan pertama beroperasi 1 September 1976. Meskipun demikian, KRL ini telah diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 12 Agustus 1976.
Sebanyak 60 pegawai pun dipersiapkan PJKA untuk menjadi masinis dan teknisinya. Selain itu, pada tahun 1977 pemerintah juga mengganti gardu listrik untuk mendukung operasional KRL.

KRL Rheostatik terus didatangkan hingga 1987 dan terdiri dari dua jenis, yaitu dengan bahan baja biasa (mild steel) dan baja tahan karat (stainless steel). Sebanyak 120 unit diproduksi oleh berbagai pabrikan di Jepang.
Selain peremajaan sarana kereta rel listrik, Pemerintah juga membuat rencana pengembangan wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek Metropolitan Development Plan) yang dibuat pada tahun 1980 atas kerja sama dengan Bank Dunia. Rencana ini mengenai pelaksanaan pengembangan wilayah metropolitan dengan struktur multipolar, dan juga keinginan memajukan urbanisasi yang saat itu hanya terlihat ke arah selatan menjadi tersebar ke arah timur dan barat.
Pada periode ini juga, Proyek Modernisasi Kereta Api Jabotabek (1980-2001) diposisikan menjadi proyek nasional sesuai dengan keluarnya Keputusan Presiden. Proyek ini dimulai dengan tujuan untuk membangun sistem perkeretaapian yang dapat berfungsi secara memadai untuk mendukung aktivitas komuter di wilayah metropolitan Jakarta. Dalam pengimplementasian perencanaan ini berbagai negara juga ikut membantu pengembangan.
Pada tahun 1980, Pemerintah Indonesia melakukan kerja sama dengan Pemerintah Jepang dalam penyusunan Rencana Jangka Pendek untuk pengembangan jalur transportasi berbasis jalan rel di kawasan JABOTABEK. Komponen-komponen proyek yang disarankan oleh Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency adalah sebagai berikut:
- Melakukan perbaikan struktur jalan rel, membangun pagar pembatas antara jalan rel dengan kawasan pemukiman maupun jalan raya.
- Memperbaiki fasilitas di area stasiun seperti membangun peron tinggi, membuat atap di area peron stasiun serta membuat penyebrangan bagi penumpang baik underpass maupun Jembatan Penyebrangan Orang (JPO).
- Membangun jalur tambahan (double track) di jalur tunggal eksisting seperti jalur Manggarai-Bogor, jalur Tanah Abang-Serpong, jalur Duri-Tangerang. Paralel dengan pembangunan jalur kereta api, penambahan fasilitas seperti elektrifikasi, pemasangan persinyalan elektrik otomatis serta penataan ulang kawasan stasiun juga dilakukan.
- Melakukan penataan di kawasan Stasiun Kampung Bandan. Dalam penataan kawasan Stasiun Kampung Bandan, penataan jalur untuk menghubungkan jalur barat dengan jalur timur perlu dilakukan.
- Melakukan penambahan substation dan memperbaharui sistem persinyalan. JICA menyarankan untuk memasang Automatic Train Stop (ATS) sebagai sistem keselamatan kereta otomatis untuk meningkatkan keselamatan perjalanan kereta api listrik di kawasan Jabotabek ketika perjalanan kereta semakin bertambah.
- Pembangunan depo kereta listrik baru di area Jakarta Kota dan Depok. Selain itu membangun depo kereta jarak jauh di area Cipinang.
- Pembangunan jalur baru seperti Jalur Kereta Bandara Cengkareng (Soekarno-Hatta) dan jalur Cibinong.
Pada penyusunan rencana ini, Central Line (Jakarta Kota-Manggarai) diproposalkan untuk dibangun menjadi jalur layang. Hal ini untuk mengantisipasi kemacetan yang dapat terjadi dalam waktu dekat di masa itu. Proyek pembangunan jalur layang ini dijadwalkan akan dimulai pada tahun 1985 dengan masa konstruksi lima tahun dengan target selesai dan dapat beroperasi tahun 1990.
Selain Central Line, East Line juga disarankan untuk dibangun menjadi jalur layang. Jalur layang yang dibuat adalah pada segmen Jakarta Kota-Pasar Senen-Gang Sentiong. Namun, rencana ini tidak dilaksanakan. Menurut JICA, Pemerintah Indonesia memiliki dua alternatif, jika ingin mengatasi masalah kemacetan dengan cepat di Jalan Pasar Senen dan Jalan Pramuka maka dapat membangun fly over maupun underpass. Alternatif lainnya adalah jika Pemerintah Indonesia menginginkan pertumbuhan kota yang harmonis di daerah Jakarta Pusat yang terbelah oleh jalur kereta East Line maka pembangunan jalan kereta layang sangat direkomendasikan.

Penataan Stasiun Kampung Bandan juga menjadi prioritas. Hal ini dikarenakan kereta dari Jakarta Kota (East Line) menuju West Line (Angke-Duri-Tanah Abang) maupun sebaliknya harus melakukan pembalikan arah (switchback) di Stasiun Kampung Bandan. Pelaksanaan switchback dalam operasional kereta komuter merupakan suatu permasalahan yang serius. Permasalahan ini harus segera diselesaikan sehingga operasional kereta dapat disederhanakan dalam rangka meningkatkan frekuensi perjalanan kereta. Permasalahan switchback ini dapat diselesaikan dengan menyambungkan jalur West Line dengan jalur East Line. Pembangunan ini jika melihat pada studi kelayakan direncanakan dimulai dari tahun 1986 hingga tahun 1989.
Pembangunan lainnya adalah melakukan elektrifikasi pada jalur Jatinegara dan Bekasi termasuk peningkatan fasilitas stasiun, pembangunan area stasiun dan persinyalan elektrik. Hal in dilakukan untuk memperluas jaringan kereta rel listrik di kawasan Jabotabek seiring dengan meningkatnya pertumbuhan di kawasan tersebut.
Pembelian kereta kereta rel listrik baru juga dibutuhkan seiring dengan meningkatnya perjalanan kereta komuter. Proyek-proyek ini direncanakan selesai pada periode akhir tahun 1987 hingga 1990.
Di antara proyek-proyek ini, beberapa proyek di antaranya kemudian dilaksanakan seperti elektrifikasi Tanah Abang-Serpong (selesai 1992), penyambungan dan elektrifikasi loop line (selesai 1987), elektrifikasi lintas Bekasi (selesai 1992), dan elektrifikasi lintas Tangerang (selesai 1997).
Lahirnya KRL ekspres dan pembangunan jalur layang
KRL ekspres mungkin lahir di akhir 1980-an atau awal 1990-an, hampir berbarengan dengan kedatangan KRL Rheostatik stainless dari Jepang. Pada saat itu, PJKA/Perumka meluncurkan layanan KRL Pakuan Ekspres di rute Jakarta Kota — Bogor (PP). KRL ini hanya berhenti di beberapa stasiun, tidak seperti KRL biasa yang berhenti di semua stasiun dan perhentian. Kesuksesan dari KRL Pakuan Ekspres ini mengilhami Perumka untuk meluncurkan layanan Depok Ekspres di rute Jakarta Kota — Depok (PP) yang secara bergantian menggunakan KRL dan KRD.
Mengutip buku “Anwar Azas, Teladan dari Ranah Minang” ide pembangunan jalur KA layang bermula dari keluhan Presiden RI Soeharto atas kemacetan akibat perlintasan sebidang. Di masa itu terdapat 23 perlintasan sebidang antara Manggarai-Jakarta Kota. Tahun 1981, berdasarkan studi JICA disusunlah rencana induk Sistem Perkeretaapian Jabotabek. Tim Koordinasi Pengendalian Pembangunan KA Jabotabek pun dibentuk.
Jalur layang terdiri dari dua jalur kereta api. Jalur kereta ini dilengkapi dengan persinyalan Automatic Blocking System dilengkapi dengan First Class Relay Interlocking Device dengan sistem deteksi kereta menggunakan track circuit. Pembangunan jalur kereta layang menggunakan metode bridge or embankment dengan tipe yang dipilih adalah jembatan box girder.

Stasiun-stasiun di jalur Jakarta Kota hingga Manggarai pun ditingkatkan fasilitasnya serta terdapat pembangunan stasiun-stasiun baru. Pembangunan stasiun baru antara lain adalah Stasiun Mangga Besar dan Stasiun Jayakarta. Stasiun Gambir pun masih direncanakan sebagai stasiun pemberhentian kereta jarak jauh dengan dibangunnya empat jalur. Dua jalur untuk kereta jarak jauh sedangkan satu jalur untuk kereta komuter.
Menurut JICA, stasiun kereta jarak jauh harus dipersiapkan setelah pembangunan jalur layang ini selesai. Alternatif pembangunan stasiun kereta jarak jauh baru adalah stasiun harus terintegrasi ke Manggarai, Jatinegara dan Tanah Abang. Jika operasional kereta api tidak berubah akan menyulitkan operasional kereta jarak jauh maupun kereta komuter di jam sibuk. Jika operator kereta memaksa bahwa kereta api jarak jauh tetap di Stasiun Gambir maka harus dibangun jalur double-double track baik di jalur Central Line maupun East Line.
Pada saat kajian pembangunan jalur Manggarai-Jakarta Kota, opsi membangun jalur layang yang dipilih pada tahun 1982, dengan pembangunan jalur layang Manggarai-Jakarta Kota pun dimulai pada tahun 1988 dan selesai pada akhir 1991. Jalur ini pun diresmikan pada 5 Juni 1992 oleh Soeharto di Stasiun Gambir.

Untuk keperluan peresmian jalur layang tersebut oleh Presiden Soeharto, Perumka memodifikasi satu rangkaian KRL Rheostatik stainless menjadi kelas campuran eksekutif dan bisnis. Kereta kelas eksekutif berada di setiap kereta berkabin masinis, sedangkan kereta bisnis berada di kedua kereta tengah. Selesai digunakan untuk peresmian jalur layang, Perumka mengoperasikan rangkaian KRL ini sebagai KRL Pakuan Ekspres Utama dengan rute Jakarta Kota — Bogor (PP).
Tragedi pemicu pembangunan jalur ganda

Salah satu momen tergelap dalam sejarah KRL di Indonesia adalah tragedi Ratu Jaya pada tahun 1993, tepat setahun setelah selesainya pembangunan jalur layang Manggarai — Jakarta Kota. Dalam tragedi itu, dua rangkaian KRL yang diketahui merupakan KRL ekonomi menggunakan KRL Rheostatik mild steel dan KRL bisnis menggunakan KRL Rheostatik stainless steel bertabrakan di wilayah Ratujaya, tidak jauh di selatan Stasiun Depok. Alhasil 20 orang meninggal dunia akibat kejadian ini. Sebanyak masing-masing dua kereta yang selamat dari kejadian ini kemudian dirangkai menjadi satu rangkaian KRL ekonomi dengan susunan 4 kereta.
Tragedi ini memicu pembangunan jalur ganda Depok — Bogor yang baru selesai pada September 1996. Dalam pembangunan jalur ganda ini, perhentian-perhentian seperti Pondok Terong dan Kebon Pedes dinonaktifkan dan dibongkar karena terimbas pembangunan jalur ganda. Dihilangkannya kedua perhentian ini membuat jarak antar stasiun menjadi lebih renggang.
Medan yang lebih berbukit dan banyaknya tikungan juga membuat kondisi eksisting dari jalur Depok-Bogor harus direkayasa untuk mengakomodasi pembangunan jalur ganda. Dalam pembangunannya, jalur baru dibangun sebagian di sisi timur jalur eksisting, dan sebagian lainnya di sisi barat jalur eksisting. Sehingga pada saat jalur ganda sudah tersambung, jalur eksisting dapat saja berada di jalur hulu dan lalu berpindah ke jalur hilir di beberapa tempat.
Menambah armada KRL ekspres

Perumka juga akhirnya memodifikasi beberapa rangkaian KRL Rheostatik stainless dan KRL Holec menjadi kelas bisnis untuk keperluan operasional KRL ekspres. Di antara rangkaian KRL yang dimodifikasi tersebut adalah rangkaian KRL Rheostatik gabungan eks tragedi Ratu Jaya 1993, yang kemudian populer dengan sebutan “Cat-Dog”. Perumka juga mulai mengoperasikan layanan Bekasi Ekspres dengan rute Jakarta Kota — Bekasi via Gambir (PP), bergantian menggunakan KRL dan KRD. Modifikasi ini mungkin berlangsung hingga akhir 1990-an.

Kontras dengan KRL yang dimodifikasi menjadi kelas bisnis, KRL yang tetap menjadi kelas ekonomi memiliki keadaan yang memprihatinkan. Yang paling dapat diingat dari era tersebut adalah pintu-pintu penumpang di KRL ekonomi yang rusak dan tidak dapat dioperasikan, sehingga KRL selalu berjalan dengan pintu yang terbuka lebar. Di samping itu, banyak juga lampu ruang penumpang yang rusak sehingga gelap pada saat penuh atau saat malam hari.
Halaman Selanjutnya: Memasuki era KRL eks Jepang
Halaman Sebelumnya: Era perang dunia ke-II hingga setelah kemerdekaan
Pingback: KAI Uji Coba Kereta Eksekutif dengan Sambungan Tertutup - Railway Enthusiast Digest