96 Tahun Kereta Rel Listrik di Indonesia, Perjalanan Awal Hingga Masa Kini
Era KAI Commuter Jabodetabek dan berdirinya MRT Jakarta

Di tahun 2008, Divisi Jabotabek dipisahkan dari PT Kereta Api Indonesia dan menjadi anak perusahaan sendiri yaitu PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ). KCJ dibentuk sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2008 dan Surat Menteri Negara BUMN No. S-653/MBU/2008 tanggal 12 Agustus 2008. Setelah menjadi perseroan terbatas, perusahaan ini mendapatkan izin usaha No. KP 51 Tahun 2009 dan izin operasi penyelenggara sarana perkeretaapian No. KP 53 Tahun 2009 yang semuanya dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia.
KCJ awalnya hanya bertugas mengelola penjualan tiket KRL. Peresmian dilakukan di stasiun Tanjung Barat yang saat itu dijadikan stasiun percontohan. Seiring berjalan waktu, tugas KCJ kemudian bertambah juga mengelola fasilitas stasiun. Setelahnya juga mengelola layanan sendiri yaitu Commuter Line, mengelola fasilitas perawatan KRL di depo, dan memiliki pegawai operasional sendiri.
Di tahun yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendirikan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama PT Mass Rapid Transit Jakarta (MRT Jakarta). Dasar hukum pembentukan PT MRT Jakarta adalah Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Perseroan Terbatas (PT) MRT Jakarta dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Penyertaan Modal Daerah Pada Perseroan Terbatas (PT) MRT Jakarta. MRT Jakarta akan mengelola sistem kereta bawah tanah di Jakarta, namun MRT Jakarta tidak memiliki jalur hingga jalur pertamanya dibangun pada 2013.
Setahun setelah berdiri, KCJ meluncurkan KRL ekonomi AC malam “Hati Mulya” untuk rute Jakarta Kota – Bekasi (PP) di tahun 2009. KRL seri 8500 yang datang pada tahun 2009 dan masih merupakan bagian dari pesanan KAI di periode sebelumnya pun diberikan pada KCJ dan kemudian dikenal dengan sebutan “Jalita”.
Di tahun yang sama, pemerintah telah menyelesaikan elektrifikasi ruas Serpong – Parung Panjang sehingga kemudian dapat dilayani oleh KRL Commuter Line. KCJ kemudian memperpanjang rute KRL Ciujung hingga Stasiun Parung Panjang.
KRL milik KCJ sendiri, kereta khusus wanita, dan pola operasi baru

Di tahun 2010 hingga awal 2011, KCJ mendatangkan armada KRL yang kemudian menjadi armada pertama mereka. Saat itu, KCJ mendatangkan 40 unit KRL seri 7000 dan 50 unit KRL seri 05 dari perusahaan Tokyo Metro. Memiliki susunan asli 10 kereta per rangkaian, kedua jenis KRL ini diperpendek susunannya menjadi 8 kereta dikarenakan pada saat itu daya listrik dan panjang peron belum memadai untuk operasional KRL dengan susunan 10 kereta per rangkaian. Namun pada saat peresmian KRL seri 7000 yang juga bersamaan dengan peresmian kereta khusus wanita, KRL ini sempat melayani dengan susunan aslinya.

Kereta khusus wanita diluncurkan karena pada saat itu tingkat pelecehan seksual kepada wanita begitu tinggi di KRL. Dengan adanya kereta khusus wanita, diharapkan tingkat pelecehan seksual kepada wanita di KRL dapat turun.
Hingga tahun 2011, terdapat 37 relasi KRL Jabodetabek dengan 4 kelas (ekspres, semi ekspres, ekonomi AC, dan ekonomi non AC). Pola operasi ini bertahan hingga Juni 2011 diberlakukan pola single operation dan skema rute loop line untuk mengefisiensikan 37 relasi menjadi hanya 7 relasi. Ketujuh relasi tersebut adalah Bogor – Depok – Jakarta Kota (PP), Bogor – Depok – Kampung Bandan – Jatinegara (PP), Jakarta Kota – Manggarai – Bekasi (PP), Tanah Abang – Serpong (PP), Duri – Tangerang (PP), dan Jakarta Kota – Kampung Bandan (PP). Kemudian layanan KRL ekspres juga dihapus di tahun yang sama sehingga hanya menyisakan KRL ekonomi AC yang di-rebranding menjadi Commuter Line dan KRL ekonomi.

KCJ kembali mendatangkan KRL dari Tokyo Metro, kali ini seri 6000. KRL seri 6000 didatangkan oleh KCJ secara bertahap hingga 2013 sebanyak 130 unit yang dibagi ke dalam 13 rangkaian dengan susunan 10 kereta per rangkaian. Namun KCJ hanya mengoperasikannya dengan susunan 8 kereta per rangkaian.
Selain itu, KCJ juga mendatangkan kembali 30 unit KRL seri 05 dari Tokyo Metro dan mendapat hibah KRL seri 203 dari JR East sebanyak 50 unit di tahun 2012. KRL seri 203 yang dihibahkan oleh JR East ini aslinya bertujuan ke Filipina, namun karena masalah biaya pengiriman yang tidak dapat ditanggung oleh pihak Filipina, akhirnya KRL ini dialihkan ke Indonesia.

KRL KfW hadir

Pada tahun 2008, pemerintah memesan 10 rangkaian KRL untuk angkutan di Jabodetabek. Dikarenakan pengadaannya menggunakan pinjaman dari bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), maka KRL ini pun dikenal dengan sebutan KRL KfW. Dana pinjaman yang diperoleh kala itu adalah sebesar Rp443 miliar.
KRL ini telah selesai dibuat pada tahun 2011 silam dan diresmikan di Jakarta Kota bersamaan dengan KA Gajah Wong. Namun kemudian KRL ini baru beroperasi secara reguler melayani penumpangnya pada tahun 2013 silam. Saat pertama kali beroperasi, KRL KfW ini beroperasi di lintas Tanah Abang-Maja yang baru dibuka pada 17 April.
KRL ini memiliki bogie bolsterless dengan tipe TB-409 dan MB-409 dengan kecepatan operasional 100 km/jam. Sedangkan untuk traksi digunakan tekonologi VVVF-IGBT oleh Bombardier, dan dilengkapi dengan sistem TCMS. Seperti pada KRL-I, sistem TCMS ini berfungsi memantau parameter dan performansi KRL ini.
Di tengah perjalanannya, KCJ (kemudian KCI) selaku operator KRL Commuter Line menganggap KRL ini kurang andal. Sehingga pada akhirnya dinasannya yang sebelumnya menyebar di lintas Tangerang, Parung Panjang, dan Bogor menjadi hanya Feeder Manggarai-Duri dan Jakarta Kota-Kampung Bandan. KRL ini juga selanjutnya berdinas menjadi armada Commuter Line Jakarta Kota-Tanjung Priok.

Pada tahun 2019, seluruh armada KRL KfW pun akhirnya ditarik dari operasional di Jabodetabek. Sempat timbul pertanyaan apa yang selanjutnya akan terjadi dengan KRL ini. Pada akhirnya terjawab jika KRL KfW ini akan menjadi armada di Yogyakarta, yang Tim REDaksi akan bahas kemudian.
Akhir dari KRL ekonomi

Dengan semakin banyaknya KRL AC eks Jepang, KRL ekonomi secara bertahap dikurangi operasionalnya. Saat itu, lintas pertama yang layanan ekonominya dihapus adalah lintas Serpong. Kemudian dilanjutkan dengan lintas Tangerang dan Bekasi. Padahal, saat itu Balai Yasa Manggarai telah mengkreasikan KRL ekonomi yang pintunya dapat dioperasikan normal dari kabin masinis menggunakan KRL Rheostatik.
Pada tahun 2013 layanan KRL ekonomi dihapuskan total dengan dihapusnya layanan KRL ekonomi dari lintas Bogor dan terciptalah pola single class, bersamaan dengan selesainya jalur ganda ruas Serpong – Parung Panjang dan elektrifikasi ruas Parung Panjang – Maja oleh pemerintah.
Berakhirnya era KRL Ekonomi juga menandakan era baru dari pelayanan KRL Commuter Line. Kereta rel listrik yang kala itu dikenal sebagai angkutan yang kurang manusiawi, telah bergerak maju untuk menjadi moda angkutan umum yang dapat memanusiakan penggunanya.
Dari eks rangkaian KRL ekonomi, hanya eks KRL BN-Holec yang saat ini masih beroperasi. Mereka telah berubah wujudnya menjadi Kereta Rel Diesel Elektrik dan menjadi armada andalan KA Prambanan Ekspres dan KA Bandara di Daop 6 Yogyakarta. Sebagian lagi berubah menjadi KRL AC yang sempat berdinas sebentar di lintas Duri-Tangerang PP sebelum ditarik kembali, dan sekarang menjadi Emergency Medical Train.

Jalur Nambo, cabang yang terelektrifikasi

Di tahun 2013, pemerintah juga telah menyelesaikan elektrifikasi lintas cabang Citayam – Nambo. Jalur cabang yang menjadi bagian dari mega proyek “Musashino Line of Java” yang digagas oleh Jepang di tahun 1980-an ini sejak penyelesaian pembangunannya di tahun 1997 hanya dilayani oleh KRD hingga sekitar tahun 2006-2008.
Meski telah selesai sejak 2013, KRL Commuter Line ke Nambo tidak beroperasi hingga dua tahun kemudian. Saat itu justru KA barang terlebih dahulu yang beroperasi. 1 April 2015, KRL Commuter Line Nambo akhirnya beroperasi, namun hanya Stasiun Cibinong dan Nambo yang melayani penumpang. Sementara itu Stasiun Pondok Rajeg dan Stasiun Gunung Putri yang sebelumnya melayani penumpang, tetap nonaktif pada saat KRL mulai beroperasi.
Pada tahun 2013, Pemerintah Indonesia mencanangkan jalur ini akan tersambung dari Stasiun Cikarang dan menjadi bagian dari rencana jalur lingkar luar kereta rel listrik Jabodetabek. Jalur lingkar luar ini membentang dari Stasiun Tanjung Priok-Stasiun Cikarang-Stasiun Nambo-Stasiun Citayam-Stasiun Parung Panjang. Panjang lintasan jalur ini direncanakan hingga 60 kilometer. Jalur lingkar luar ini masuk dalam konsep master plan perkeretaapian Jabodetabek 2020. Biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalur ini hingga mencapai 78 Triliun Rupiah. Namun, pembangunan jalur ini dimasukkan ke dalam tahapan pembangunan jangka panjang.
Tiket elektronik dimulai
Penerapan tiket elektronik sebenarnya sudah lebih tua dari yang kita selama ini kira. Pada 2007 silam, Menteri Perhubungan kala itu Djusman Syafii Djamal telah menargetkan sistem pertiketan KRL Jabodetabek pada akhir 2007 sudah menggunakan tiket elektronik. Sistem ini pun pertama kali diujicobakan untuk KRL AC Ciujung pada 12 Juli 2007.
Sayangnya, banyak penumpang yang tidak familiar dengan sistem ini, dan banyak kartu yang juga raib karena tidak dikembalikan. Tercatat selama sepekan pertama saja sudah ada 1.732 kartu yang raib. KAI Daop I pun kemudian mewajibkan penumpang menyerahkan uang jaminan sebesar Rp15.000 plus harga perjalanan untuk membeli tiket elektronik yang dapat ditukarkan di stasiun tujuan, persis dengan skema Tiket Harian Berjaminan hari ini. Akibatnya, animo masyarakat pun anjlok dan pada Agustus 2007 sistem ini pun berhenti digunakan. Sistem tiket elektronik pun hiatus cukup lama setelah itu.

Pada era KCJ, mereka pun telah mengujicoba tiket elektronik sejak 2011. Saat itu, tiket elektronik hanya sebatas mengganti abonemen KRL (Kartu Trayek Bulanan, KTB/Kartu Langganan Sekolah, KLS). Pada saat penumpang melakukan tap in atau tap out, pada mesin gerbang tiket elektronik hanya muncul tulisan tanggal tiket tersebut berlaku. Tiket ini diperkenalkan secara meluas pada 1 Februari 2012 setelah uji coba terbatas dari 2011 silam.
Pada perjalanannya tiket Commet ini dinilai tidak efektif karena kala itu sistem tiket elektronik KCJ kala itu kurang efektif. Selain itu, sistem Commet yang merupakan abonemen yang hanya berlaku pada bulan tersebut. Akibatnya, kala terjadi longsoran di Cilebut pada November 2012, tiket Commet pengguna dari Bogor selama 9 hari tidak dapat digunakan. Para pengguna pun cepat menuntut KCJ atas kompensasi karena tiket ini dibeli secara bulanan. Desember 2012, penggunaan Commet pun tidak lagi dilanjutkan.
Langkah penerapan tiket elektronik di KCJ pun bergerak maju. Mulai 8 April 2013, KCJ mulai mengujicobakan sistem tiket elektronik di lintas Tangerang pada jam sepi penumpang. Uji coba ini selain untuk membiasakan penumpang, juga untuk menguji keandalan sistem dan petugas dalam menghadapi penerapan total tiket elektronik. Pada awal uji coba ini ditemukan sejumlah kendala seperti gagal sinkronisasi data pada jaringan sistem pertiketan.
Setelah kendala awal ini diatasi, uji coba pun meluas. 22 April 2013, giliran lintas Depok-Jakarta Kota mendapat giliran uji coba tiket elektronik. Penjualan tiket elektronik di saat uji coba ini awalnya terbatas hanya pukul 10.00-12.00, namun kemudian diperpanjang terus hingga 09.00-15.00. Jumlah kartu yang dijual juga terus bertambah.
Penerapan tiket elektronik secara penuh

Tiket elektronik baru benar-benar diterapkan pada 1 Juli 2013 dengan dua jenis tiket, yaitu single trip dan multi trip. Sistem tiket elektronik ini sekaligus menghapus sistem abonemen yang sebelumnya dipakai. Sementara mulai 30 November 2013 kartu Flazz bank BCA mulai dapat digunakan di KRL Commuter Line. Disusul pada 16 Juni 2014, kartu-kartu dari sejumlah bank lain juga dapat digunakan di KRL Jabodetabek.
Tiket single trip akan ditelan mesin gerbang tiket elektronik pada saat penumpang turun di stasiun, sedangkan tiket multi trip berfungsi sebagaimana abonemen namun tanpa masa aktif dan menyimpan saldo yang dapat diisi ulang ketika sudah habis. Namun karena tiket single trip banyak dibawa pulang oleh penumpang akibat masih banyak celah keamanan di stasiun, akhirnya sistem ini diganti dengan tiket harian berjaminan (THB) di mana penumpang membayar jaminan untuk tiket tersebut yang dapat dikembalikan di loket sejak 22 Agustus 2013.
Tiket harian berjaminan meskipun tampak kurang praktis karena harus mengantre tiap akan diisi ulang, nyatanya tetap diandalkan oleh banyak orang, terutama pengguna musiman. Hal ini terbukti dari penolakan pengguna yang meluas kala KCJ mulai memperluas kebijakan stasiun khusus KMT di medio 2020-2021. Kebijakan ini sendiri sudah berlaku sejak 2019 di mana lima stasiun yaitu Cikini, UI, Taman Kota, Sudirman, dan Palmerah menjadi khusus KMT.
Selain inovasi penerapan tiket elektronik, inovasi vending machine juga diterapkan oleh KCJ untuk meningkatkan pelayanan dalam transaksi tiket elektronik. Vending machine mulai diterapkan pada 27 September 2016 di Jakarta Kota, dan saat ini telah meluas di sejumlah stasiun KRL Jabodetabek.

KRL seri 205, breakthrough 10 kereta!

Mulai akhir 2013, KCJ mendatangkan KRL seri 205 dari JR East. Saat itu sebanyak 30 unit tiba di Jakarta pada Desember 2013, disusul dengan 20 unit berikutnya beberapa hari kemudian. 130 unit lainnya tiba secara bertahap hingga pertengahan 2014. Alih-alih mengoperasikannya dengan susunan yang dipotong menjadi 8 kereta seperti KRL-KRL yang didatangkan sebelumnya, KRL seri 205 yang didatangkan dari Jalur Saikyo ini justru diujicobakan untuk angkutan penumpang dengan susunan aslinya yaitu 10 kereta pada Februari 2014.
Akhirnya setelah melakukan perpanjangan peron dan penyesuaian emplasemen di Stasiun Jakarta Kota, KRL dengan susunan 10 kereta mulai diperkenalkan ke lintas Bogor – Jakarta Kota (Lin Sentral) mulai April 2014. Sebelumnya, KRL ekonomi AC Southline pernah menggunakan KRL seri 1000 dengan susunan asli 10 kereta. Akan tetapi, operasional KRL dengan susunan 10 kereta ini kemudian hiatus cukup lama sampai datangnya KRL seri 205. 180 unit pertama KRL seri 205 yang terbagi menjadi 18 rangkaian KRL ini merupakan awal dari dominasi KRL seri 205 di Jabodetabek.

Bersamaan dengan beroperasinya KRL seri 205 susunan 10 kereta, KCJ bereksperimen dengan mengatur ulang susunan satu rangkaian KRL seri 203 menjadi 10 kereta. Namun hal ini tidak berlangsung lama dan rangkaian tersebut kembali diperpendek menjadi 8 kereta.
Setelah mendatangkan KRL seri 205 susunan 10 kereta, KCJ kembali mendatangkan KRL seri 205 dengan susunan 8 kereta per rangkaian KRL yang pernah beroperasi di Jalur Yokohama mulai pertengahan hingga akhir 2014. Didatangkan sebanyak 176 unit, keseluruhannya terbagi menjadi 22 rangkaian KRL. Kelak KRL seri 205 dari Jalur Yokohama akan diubah formasinya menjadi 10 dan 12 kereta.
Semakin panjang dengan 12 kereta

Pertengahan tahun 2015, KCJ mendatangkan KRL seri 205 dari Jalur Nambu dengan susunan 6 kereta per rangkaian sebanyak 120 unit atau 20 rangkaian KRL. Lewat KRL seri 205 ini, layanan KRL kemudian berkembang lagi dengan susunan 12 kereta di Lin Sentral (Red Line) dengan cara menggabungkan dua rangkaian KRL seri 205 susunan 6 kereta. Setelah diujicoba secara intensif, uji angkut KRL susunan 12 kereta dimulai di kuartal ketiga 2015.
Operasional KRL susunan 12 kereta ini sempat hiatus tidak lama setelah insiden bertabrakannya dua KRL seri 205 di Stasiun Juanda pada 23 September 2015. Rangkaian KRL susunan 12 kereta ini kemudian dipotong menjadi 10 kereta secara sementara untuk memberi waktu pada pekerjaan perpanjangan peron. Di samping itu, KCJ juga mulai mengoperasikan KRL susunan 12 kereta di Bekasi. KRL susunan 12 kereta ini mulai beroperasi reguler pada akhir 2015, dan tidak lama kemudian juga menyebar ke lintas Bekasi – Jakarta Kota (PP).
Bersamaan dengan pengoperasian KRL susunan 12 kereta, KCJ juga mempublikasikan istilah “stamformasi” yang disingkat dengan SF untuk menyebut jenis formasi KRL. Sehingga, pada saat itu pengguna jasa pun familiar dengan istilah SF8, SF10, dan SF12.
Dengan dioperasikannya KRL SF12, KCJ pun memperkenalkan KRL SF10 untuk tujuan Parung Panjang. Layanan KRL SF10 ini pun diperluas untuk tujuan Maja setelah penyelesaian jalur ganda Parung Panjang – Maja di tahun 2015 oleh pemerintah.

Setelah seluruh KRL seri 205 eks Jalur Nambu beroperasi, KCJ mulai bereksperimen dengan susunan rangkaian KRL seri 205. KCJ mengatur ulang susunan rangkaian KRL seri 205 eks Jalur Yokohama dari 22 rangkaian SF8 menjadi 10 rangkaian SF10 dan 6 rangkaian SF12. Pengaturan ulang susunan ini mengakibatkan surplus sebanyak dua unit kereta yang kemudian digandengkan pada satu rangkaian KRL seri 205 eks Jalur Saikyo menjadi rangkaian SF12.
Tanjung Priok reborn

Selain menjadi titik awal elektrifikasi jaringan rel di Jabodetabek, layanan KRL ke Tanjung Priok di era modern sendiri juga sebenarnya bukan hal yang asing. Pada tahun 2009, diluncurkan layanan KRL Ekonomi AC dari Bekasi ke Tanjung Priok. Sedangkan sebelumnya pada tahun 2008 telah eksis layanan Bekasi Ekspres Wisata yang melayani Bekasi-Ancol.
Akan tetapi layanan ini berhenti beroperasi pada Juni 2011, berbarengan dengan pemberlakuan pola operasi loop line. Stasiun Tanjung Priok pun dalam waktu lama tidak melihat lagi layanan KRL, kecuali saat ada pengiriman KRL eks Jepang di mana rangkaian KRL eks Jepang yang baru tiba di pelabuhan akan stabling di sini.
Sementara jalur KRL antara Tanjung Priok-Jakarta Kota telah lama tidak beroperasi sejak 2004. Padahal wacana pengaktifan kembali jalur ini sudah ada sejak 2011 silam, namun baru 2015 wacana ini benar-benar terlaksana.
Setelah melalui serangkaian uji coba, KRL Tanjung Priok pun akhirnya beroperasi dengan rute Tanjung Priok-Jakarta Kota pada 21 Desember 2015. Kala itu, jumlah perjalanannya hanya 6 perjalanan sehari, tetapi seiring berjalannya waktu, sekarang perjalanan KRL Tanjung Priok mencapai 84 perjalanan (62 selama PPKM) pada GAPEKA 2021.
Lintas ini juga menjadi lintas terakhir yang armada utamanya menggunakan KRL SF4. KRL SF8 baru reguler digunakan sejak KRL KfW ditarik kembali ke INKA pada 2019.

Hingga kini, meski pada peta KAI Commuter lintas Pink Line (Lin Tanjung Priok) mencakup Kemayoran-Tanjung Priok dan Jakarta Kota-Tanjung Priok, baru yang terakhir disebutkan yang telah beroperasi. Lintas Kemayoran-Tanjung Priok masih belum beroperasi kembali untuk KRL.
Variable voltage variable frequency eks Jepang pertama

Di tahun 2016, KCJ kembali mendatangkan KRL seri 6000 dari Tokyo Metro. Namun kali ini propulsi yang digunakan adalah variable voltage-variable frequency (VVVF) yang lebih modern. Sebanyak 60 unit didatangkan KCJ pada pertengahan hingga akhir 2016. Kedatangan KRL ini juga memungkinkan KCJ mengoperasikan lebih banyak KRL SF10 ke arah Maja dan membuka layanan KRL SF10 ke arah Angke.

Ini adalah kali pertama KRL dengan propulsi VVVF didatangkan dari Jepang dalam keadaan bukan baru. Walau demikian, teknologi VVVF sudah cukup familiar dikenal oleh Indonesia sejak 1990-an karena teknologi ini digunakan pada KRL-KRL buatan PT INKA, termasuk KRL-I dan KfW.
Di antara ke-60 unit KRL yang terbagi dalam enam rangkaian SF10 ini, terdapat dua rangkaian yang unik. Rangkaian pertama adalah rangkaian 6101F yang merupakan rangkaian purwarupa kedua dengan bentuk yang berbeda dari KRL seri 6000 lainnya. Sedangkan rangkaian lainnya adalah rangkaian 6108F yang merupakan salah satu dari tiga rangkaian yang digunakan untuk ujicoba pemasangan pendingin udara oleh Eidan (nama lama Tokyo Metro) di akhir 1980-an.
Halaman Selanjutnya: Era Kereta Commuter Indonesia, melebarkan sayap elektrifikasi, KRL bandara, keluarga baru yang lebih ringan, dan MRT Jakarta beroperasi
Halaman Sebelumnya: Memasuki era KRL eks Jepang
Pingback: KAI Uji Coba Kereta Eksekutif dengan Sambungan Tertutup - Railway Enthusiast Digest