96 Tahun Kereta Rel Listrik di Indonesia, Perjalanan Awal Hingga Masa Kini
Memasuki era KRL eks Jepang
Hibah KRL seri 6000 dari Tokyo dan modernisasi KRL ekspres

Di penghujung milenium, PT Kereta Api membentuk Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek (Divisi Jabotabek) untuk mengurus perkeretaapian komuter Jabotabek dan sekitarnya pada bulan April 1999. Di sisi lain, keadaan KRL Jabotabek yang saat itu dianggap memprihatinkan membuat walikota Tokyo pada saat itu, Kiyotoshi Yokomizo, merasa iba. Yokomizo memutuskan untuk menghibahkan KRL seri 6000 milik Biro Transportasi Kota Tokyo (dikenal sebagai Toei) untuk dioperasikan di Jabotabek.
Perbedaan standar antara Jepang dan Indonesia mengharuskan penyesuaian dilakukan di Jabotabek. Untuk mempersiapkan kedatangan KRL tersebut, pengukuran dan penyesuaian dilakukan di seantero Jabotabek agar KRL-KRL tersebut dapat beroperasi dengan aman.
KRL seri 6000 ini dihibahkan sebanyak 72 unit kereta antara tahun 2000 dan 2001. Di Jabotabek, beberapa rangkaian KRL yang memiliki susunan asli 6 kereta ini disusun ulang menjadi 8 kereta. Penyusunan ulang ini menjadikan jumlah rangkaian KRL seri 6000 sebanyak 11 rangkaian KRL dengan dua jenis susunan, yaitu 6 dan 8 kereta. Seluruh rangkaian KRL seri 6000 tersebut didinaskan sebagai KRL ekspres sekaligus menandai kelahiran layanan-layanan KRL ekspres baru di Divisi Jabotabek, yaitu Bojonggede Ekspres, Sudirman Ekspres, dan Cisadane Ekspres.

Kedatangan KRL seri 6000 ini juga perlahan menggusur KRL Rheostatik dari dinasan ekspres. Bahkan KRL Rheostatik AC yang pernah digunakan oleh Presiden Soeharto pun ikut menjadi “korban” dari kedatangan KRL seri 6000. KRL ini dimodifikasi kembali menjadi KRL ekonomi non AC. Meski KRL Rheostatik mulai tersingkir, namun beberapa dinasan ekspres masih menggunakan KRL Rheostatik hingga beberapa tahun berikutnya. Sementara itu KRL Holec memiliki nasib yang bertolak belakang dengan KRL Rheostatik, dengan seluruhnya tersingkir dari dinasan ekspres setelah kedatangan KRL seri 6000.
Pada tahun 2004 diresmikan KRL Pakuan Ekspres Wisata Ancol, melayani rute Bogor – Jakarta Kota (PP). Penumpang tujuan Ancol turun di Stasiun Juanda dan melanjutkan perjalanan dengan bus. Namun di tahun 2006, rute perjalanan KRL Pakuan Ekspres Wisata Ancol diubah menjadi Bogor-Manggarai – Jatinegara – Ancol PP. Pada tahun 2008 diresmikan juga KRL Bekasi Ekspres Wisata Ancol melayani rute Bekasi – Ancol (PP). Awalnya KRL Wisata Ancol memang mengakhiri perjalanan di Stasiun Ancol menggunakan salah satu jalur, namun kemudian perhentian akhir dipindah ke Stasiun Tanjung Priok walaupun Stasiun Tanjung Priok tidak digunakan untuk naik turun penumpang.
KRL seri 6000 ini pun bertahan di tengah perubahan kondisi KRL Jabodetabek yang dinamis. KRL seri ini baru pensiun pada 2016, dengan salah satu kabin dari KRL seri ini kini dipreservasi di Depo Depok.
KRL seri 103, eks Jepang tapi mild steel

Kesuksesan skema layanan ekspres dengan KRL seri 6000 mendorong Divisi Jabotabek untuk mendatangkan kembali KRL eks Jepang yaitu KRL seri 103 dari JR East pada tahun 2004. KRL seri 103 ini didatangkan dari Jalur Musashino sebanyak 16 unit kereta yang terbagi menjadi empat rangkaian.
Berbeda dengan KRL seri 6000 hibah, KRL seri 103 memiliki bahan dasar mild steel layaknya KRL Rheostatik produksi 1976 hingga 1984. Desain asli kabin KRL Rheostatik mild steel pun sesungguhnya mirip dengan KRL seri 103 dengan jumlah kaca sebanyak tiga buah.
Layanan KRL Benteng Ekspres yang sebelumnya dilayani oleh KRL Rheostatik stainless kelas bisnis dinasannya digantikan oleh KRL seri 103 ini. Sejak digantinya KRL Benteng Ekspres dengan KRL seri 103, KRL Rheostatik kelas bisnis pun tersingkir secara total dari dinasan ekspres. Tersingkirnya KRL ini dari dinasan ekspres membuat Divisi Jabotabek menurunkan kelasnya menjadi ekonomi dan menonaktifkan pintu otomatisnya.
KRL seri 103 ini sendiri bertahan hingga 2016. Keempat rangkaiannya saat ini sudah berada di Stasiun Cikaum.
Kehadiran INKA di tengah KRL eks Jepang

Sementara itu, INKA yang selama ini telah berpengalaman merakit KRL Ekonomi dari era KRL Rheostatik stainless, ABB-Hyundai, BN-Holec, dan Hitachi, kini mengambil langkah maju. Pada akhir 2001, dua rangkaian KRL buatan INKA telah selesai dibuat dan diujicobakan di lintas.
KRL yang dikenal sebagai KRL-I Prajayana ini merupakan KRL pertama yang diproduksi di Indonesia dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai 60%. Program pembuatan KRL-I ini bermula dari buku biru departmen tahun 1997 bahwa pemerintah membutuhkan 200 unit KRL baru.
Sejumlah perusahaan pun mengikuti tender ini, di mana pemenangnya adalah PT INKA yang menggandeng Sumitomo, Nippon Sharyo, dan Toshiba. Selain itu, INKA juga menggandeng lembaga lain seperti Badan Pengembangan Industri Strategis (BPIS), Lembaga Elektronika Nasional (LEN, kini Len Industri), dan Pindad.
KRL-I ini didesain menggunakan bogie bolsterless bertipe TB-400 dan MB-100, dengan kecepatan maksimum 120 km/jam. Selain itu, KRL-I juga dilengkapi dengan teknologi sistem pengawasan yang dapat memonitor performansi dan operasional kereta. Sedangkan traksinya menggunakan teknologi VVVF dan sumber daya sekundernya menggunakan SIV.
Sayangnya, pengadaan KRL-I tidaklah mulus. Terjadi pembengkakan biaya saat fase desain karena perubahan desain dari KRL eksekutif menjadi KRL ekonomi seperti yang diminta pemerintah. Selain itu, pemenuhan TKDN juga tidak memenuhi target di beberapa komponen, dan terdapat sejumlah masalah yang menimpa saat uji coba. Pihak PT KAI juga kala itu keberatan mengembangkan dan membeli kereta tersebut karena tidak tersedianya dana dan kekhawatiran akan teknologi yang dianggap “terlalu canggih”.
Pada akhirnya, KRL-I yang diproduksi hanya dua rangkaian, di mana KRL ini dulu menjadi andalan Pakuan Ekspres, sebelum kemudian dipindah ke dinasan seperti Lingkar Ciliwung, dan feeder. KRL-I beroperasi hingga 2014 sebelum pensiun dan ditanahkan di Cikaum pada 2016. Akan tetapi, kehadiran KRL-I menjadi landasan pengembangan kereta berpenggerak sendiri lebih lanjut oleh INKA.

KRL eks Jepang melahirkan layanan baru

Setahun kemudian, Divisi Jabotabek kembali mendatangkan KRL eks Jepang. Kali ini Divisi Jabotabek mendatangkan KRL seri 8000 dari Tokyo Express Electric Railway (Tokyu Dentetsu). Sebanyak dua rangkaian didatangkan pada tahun 2005. Kedatangan KRL seri 8000 ini disusul dengan kedatangan KRL seri 8500 mulai tahun 2006 hingga 2009 sebanyak delapan rangkaian. Satu rangkaian KRL seri 8000 lain menyusul datang ke Jakarta pada tahun 2008, menjadikan jumlah total KRL seri 8000 sebanyak tiga rangkaian.
KRL seri 8000 dan 8500 ini melengkapi KRL seri 6000 untuk dinasan KRL Pakuan Ekspres, Depok Ekspres, dan Bekasi Ekspres. Selain didinaskan sebagai KRL ekspres, kedua KRL ini juga menjadi titik awal lahirnya layanan semi ekspres yang berhenti di lebih banyak stasiun dibanding KRL ekspres, dan tentunya dengan harga tiket lebih murah.
Dalam upaya meningkatkan pelayanan, Divisi Jabotabek meluncurkan KRL ekonomi AC dengan KRL Ciujung rute Manggarai – Tanah Abang – Serpong (PP) pada awal tahun 2007 sebagai layanan ekonomi AC pertama. KRL Ciujung ini dioperasikan setelah pemerintah menyelesaikan pembangunan jalur ganda Tanah Abang – Serpong di tahun yang sama. Hampir bersamaan dengan peresmian KRL Ciujung, Departemen Perhubungan turut mendatangkan tiga rangkaian KRL seri 1000 eks Toyo Rapid dan tiga rangkaian KRL seri 5000 eks Tokyo Metro.

Berkaca dari kesuksesan KRL Ciujung yang menggunakan KRL seri 6000 ini membuat Divisi Jabotabek pada tahun 2008 meluncurkan juga KRL ekonomi AC “Southline” Depok – Manggarai (PP) yang kemudian diperpanjang menjadi Depok – Tanah Abang (PP) menggunakan KRL seri 1000 yang didatangkan oleh Departemen Perhubungan. Sementara itu, KRL seri 5000 didinaskan sebagai KRL Pakuan Ekspres dan kadang-kadang didinaskan juga ke arah Serpong.
Kesuksesan KRL Southline membuat Divisi Jabotabek membuka layanan ekonomi AC di rute Bogor – Depok – Jakarta Kota (PP) dan Bekasi – Jakarta Kota via Pasar Senen (PP) yang pada awalnya ketiganya menggunakan KRL seri 1000.
Sayangnya diketahui kemudian kalau ternyata pengadaan KRL seri 5000 dan 1000 ini bermasalah. Terdapat penggelembungan biaya dalam pengadaan kedua seri KRL ini sebanyak 60 unit. Negara pun dirugikan sebanyak Rp20,5 miliar. Dirjen Perkeretaapian saat itu, Soemino, pun divonis 3 tahun penjara.
Halaman Selanjutnya: Era KAI Commuter Jabodetabek dan berdirinya MRT Jakarta
Halaman Sebelumnya: Bantuan Jepang dalam memodernisasi KRL Jabotabek
Pingback: KAI Uji Coba Kereta Eksekutif dengan Sambungan Tertutup - Railway Enthusiast Digest